Ritual
Al seorang gadis
kecil yang baru berumur 7 tahun dan belum mengerti apa-apa. Ia hanya tahu
bermain namun hari ini ia dilarang bermain karena ia harus pergi ke suatu
tempat bersama pamannya. Ia sudah tidak memiliki ibu dan hanya tinggal ayah
yang sakit-sakitan. Ia pun digandeng ke suatu acara yang tidak dimengertinya
namun ia diharuskan untuk ikut.
“Nah, Al, tunggu
disini sebentar dan jangan kemana-mana! Kamu mengerti, ‘kan?” katanya pada Al.
Al menatapnya sambil
menganggukkan kepala.
“Kamu tidak akan kemana-mana
sampai Paman kembali! Kamu mengerti?” tegasnya.
Al mengangguk lebih
dalam lagi dan bersuara. “Ya, aku mengerti!”
Setelah Al mengatakan
itu, Paman melangkah ke tengah kerumunan dan meninggalkan Al. Al melakukan apa
yang disuruh oleh pamannya dan tetap diam di tempat. Ia mengawasi keramaian itu
dengan pandangan tak mengertinya. Ia melihat ada banyak orang dewasa dan
berseliweran.
Namun tak berselang
lama mata Al menangkap sosok seseorang yang juga bersama anak kecil sepertinya.
Al sempat berniat untuk menghampirinya karena anak itu adalah temannya tapi ia
ingat dengan permintaan pamannya sehingga ia tidak jadi melakukannya. Ia pun
tetap di tempatnya.
Tak lama kemudian
pamannya kembali. Ia terlihat lebih serius dari yang pertama Al lihat.
“Ayo, Al!” ucap
paman. Ia pun menggandeng tangan Al dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
“Paman, tempat apa
ini? Apa sedang ada perayaan?” tanyanya polos. Ia menatap pada pamannya.
Paman tak langsung
menjawab sehingga membuat Al mesti menunggu lebih lama untuk mendengar
jawabannya. “Ya, disini sedang ada perayaan.”
“Kenapa ayah tidak
ikut?!” tanyanya lagi.
“Kan ayah sedang
sakit!”
“Oh, iya.” Kata Al
kemudian. “Aku ingin ayah cepat sembuh biar bisa pergi ke perayaan bersama
kita!” lanjut Al.
Al mendengar paman
mendesah sebelum berbicara. “Ya. Ku harap juga begitu!”
Setelah berjalan
beberapa lama akhirnya paman berhenti sehingga Al otomatis juga berhenti.
Al melihat sebuah
gubuk tua, berwarna gelap, dan Al merasa takut untuk melihatnya. Ia tidak
memiliki keinginan untuk masuk ke dalam sana. Namun, paman berpendapat lain.
“Ayo, Al! Titi sudah
menunggumu!” ajak paman. Al terkejut tapi tangannya sudah lebih dahulu ditarik
oleh paman.
“Rumah siapa paman?”
tanya Al menahan ketakutannya. Di dalama gubuk itu tidak ada banyak cahaya.
Remang-remang.
“Tidak perlu takut,
Al. Kita hanya disini sebentar. Dia hanya ingin melihat dirimu!” jelas paman.
Al belum begitu
mengerti jadi ia langsung diam setelah mendengar jawaban itu.
Di dalam, kedatangan
mereka telah ditunggu oleh seorang wanita tua, nenek-nenek berambut putih dan
abu-abu panjang. Rambutnya agak berantakan dan memiliki kalung dari taring
harimau. Pakaiannya serba hitam dan wajahnya juga demikian. Namun matanya
terlihat hitam dengan balutan putih. Kaki Al terasa kaku ketika melihatnya
namun karena paman yang terus melangkah membuat Al jadi ikutan terseret. Paman
baru berhenti setelah ia berada di depan wanita tua itu. Al pun menggandeng
tangan paman dengan erat.
“Titi, dia sudah ada
disini!” kata paman padanya.
Al memandangnya
takut. Al masih menggandeng tangan paman dengan erat namun karena melihat paman
yang tidak takut Al jadi lebih berani dari sebelumnya. Ia berpikiran kalau
nenek-nenek itu tidak jahat meski terlihat menyeramkan. Gandengan tangannya pun
agak mengendur.
Wanita itu terus
memandang Al hingga membuatnya bergidik ngeri. “Dekatkan dia padaku!” kata
wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Al.
“Ayo, Al!” kata paman
pada Al. Paman melepaskan tangan Al.
Al tidak menjawab pun
bergerak tapi pamanlah yang mendorongnya mendekat hingga ia terduduk tepat di
depan wanita tua itu. Al memandang nenek itu takut-takut.
Wanita tua itu
mengamati Al selama beberapa waktu sebelum jari-jari berkuku panjangnya
menyentuh wajah Al dan membelainya. Al terkesiap tapi ia tidak menepis ataupun
mundur. Ia malah terus menatap ke mata wanita itu meski wanita itu tidak sedang
menatap padanya. Dan setelah cukup melihat wajah Al tangan wanita itu ganti
menyentuh tangan Al hingga membelai telapak tangannya. Al bergidik karena
sentuhannya di telapak tangannya. Ia merasa geli.
“Ini bagus!” ucap
wanita tua senang. Al melihat bahwa gigi nenek itu hitam-hitam. Ia tak mengerti
bagaimana itu bisa terjadi.
“Aku belum pernah
melihat yang seperti ini sebelumnya semenjak 175 tahun yang lalu. Aku tidak
mungkin percaya jika tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku sangat
yakin kalau dia adalah pilihan yang tepat. Dia akan menjadi orang yang mashur
dan tidak akan mengecewakan kita. Ia kuat!” katanya pada paman.
“Terima kasih, Titi!”
sahut paman. Namun Al mendengar nada cemas disuaranya.
“Jagalah ia baik-baik
dan bawa kembali setelah ia berusia 15 tahun!”
“Baik, Titi!”
Setelah mengatakan
itu, nenek itu melepaskan tangan Al dan paman langsung mendekati Al.
“Kita pulang!”
katanya pada Al.
Al pulang setelahnya
dan tidak menanyakan apa-apa. Tidak ada yang dimengertinya jadi ia tidak tahu
harus menanyakan apa. Ia juga tidak mengerti kenapa paman membawanya ke tempat
itu dan paman tidak pernah menceritakan alasannya. Hingga waktu berlalu Al
tidak pernah mengetahuinya.
Beberapa tahun
berlalu dan ayah Al yang sakit-sakitan akhirnya memutuskan untuk menyerah
dengan penyakitnya. Ia meninggal ketika Al baru berusia 11 tahun, tepat 4 tahun
setelah Al dibawa menemui nenek-nenek itu. Ia pun mengikuti paman yang pindah
ke tempat tinggal yang baru.
Al sudah melupakan
kejadian hari itu dan menyibukkan dirinya dengan bekerja. Al membantu paman dan
bibinya untuk mengurus rumah dan kebun. Ia adalah gadis yang penurut dan baik
sehingga ia tidak menyusahkan pamannya. Ia tumbuh dengan baik meski tingga di
tempat terpencil. Ia tidak pernah mengerti kenapa paman memilih tinggal di
tempat yang jauh dari keramaian. Hingga tanpa terasa Al sudah berusia 15 tahun.
“Al!” panggil paman
suatu hari.
Al yang tengah
mencabuti rumput di kebun sayur pun otomatis bangkit dan menghampiri pamannya.
“Ada apa paman? Ada yang paman perlukan?” tanyanya.
“Oh, tidak. Aku hanya
ingin supaya kamu bersiap-siap. Kita akan pergi!”
“Pergi?” tanya Al tak
yakin. Ia tidak pernah pergi dengan paman sebelumnya.
“Ya. Cepatlah mandi
dan gunakan pakaian terbaikmu. Paman akan menunggumu di kereta!”
“Baik paman!”
Al pun langsung
bersiap-siap tanpa bertanya lebih jauh lagi. Ia dengan senang hati membantu
pamannya karena selama ini pamannyalah yang selalu merawatnya. Kalau tidak ada
paman mungkin ia sudah menjadi gelandangan sejak kecil karena ketika kecil
ayahnya sudah tidak mampu bekerja dan sakit-sakitan sehingga ia sering dijenguk
olehnya dan diberikan makanan.
Tak membutuhkan waktu
lama dan Al sudah siap. Ia pun menghampiri pamannya yang sedang menyisiri
kudanya.
“Paman!” panggilnya.
“Sudah siap?” Al
mengangguk. “Kalau begitu, kita berangkat sekarang!”
Paman menyiapkan
keretanya dan naik ke bangku kemudi sementara Al duduk di dalam kereta. Dalam
pikiran Al sempat terlintas bahwa sikap paman berbeda hari ini karena paman
biasanya selalu membawa kusir, tidak dikendarai sendiri.
Sepanjang perjalanan
Al tidak mengatakan apapun, begitu pun paman. Al lebih memilih untuk menikmati
pemandangan di sekitar yang tak pernah dilihatnya. Ia tidak pernah keluar
sebelumnya jadi ia akan menikmati pemandangan hari ini. Ia tidak tahu kapan ia
akan melihat pemandangan itu lagi.
Al terbangun ketika
menyadari bahwa kereta telah berhenti. Ia mengucek matanya sebentar dan pintu
terbuka. Paman memintanya untuk turun.
“Ini dimana paman?”
tanya Al sambil melangkah turun. Al terkejut melihat hari sudah gelap.
“Sudah malam, kita
akan menginap dulu!” jelas paman.
Al mengangguk
mengerti.
“Kalian sudah
datang!” ucap seorang wanita setengah baya setelah membukakan pintu.
“Ya. Perjalanan yang melelahkan!”
jawab paman.
Al tak mengerti tapi
sikap paman dan wanita itu terlihat akrab. Namun Al tidak pernah meliht wanita
itu sebelumnya.
“Silahkan masuk!”
katanya ramah pada Al.
Al pun menggangguk
kikuk dan melangkah masuk.
“Aku akan
mengantarkan kalian ke kamar untuk istirahat. Aku tahu kalian pasti lelah
setelah perjalanan jauh dan juga lapar. Aku akan menyiapkan makanan selagi
kalian berisirahat dan membersihkan diri!”
Al dan paman
mendapatkan kamar yang berbeda. Al tidak tahu bagaiman kamar paman namun
kamarnya bagus, lebih bagus daripada kamar yang pernah dimilikinya. Lalu tepat
setelah ia selesai mandi ia sudah dipanggil untuk makan.
Al sempat ragu untuk
makan tapi ia kelaparan. Selain itu, si pemilik rumah juga menghidangkan banyak
makanan di meja dan enak-enak. Al tidak bisa menolak aroma sedap dari makanan
itu. Mengabaikan pamannya, ia pun makan dengan lahab dan banyak. Ia belum
pernah makan banyak sebelum malam ini.
Selesai makan, Al
langsung kembali ke kamar. Ia tidak biasa bercakap-cakap dengan keluarga. Sebelum
itu, ia berniat untuk membantu tuan rumah untuk mencuci piring namun ditolaknya
sehingga Al memutuskan untuk berada di kamar saja.
Keesokannya Al bangun
dan ia terlihat lebih segar dari semalam. Ia belum pernah melakukan perjalanan
sepanjang itu meski ia hanya duduk di dalam kereta. Ia juga tak mengerti kenapa
ia dan paman berada disini. Ia berniat untuk menanyakannya pada paman pagi ini,
tentang apa yang akan dilakukannya, namun ia belum bertemu dengan paman setelah
semalam. Ia bahkan sarapan sendirian tanpa ada paman. Ia tidak tahu paman
kemana. Paman pergi sebelum ia bangun.
Hampir tengah hari
ketika paman muncul dan mengetuk pintu kamar Al.
“Al, keluarlah! Kita
akan pergi!” panggilnya.
Al membuka pintu dan
melihat paman yang sudah rapi. “Mau kemana paman?”
“Bersiaplah! Aku akan
menunggumu di depan!” kata paman tanpa basa-basi.
Al tak mendapatkan
jawabannya namun ia tetap melakukannya. Ia segera bersiap dan menemui paman ke
depan.
“Al, sebentar lagi
kau akan bertemu dengan beberapa orang.” kata paman setelah Al duduk di samping
paman dan kereta sudah bergulir. Pada saat ini ada seorang kusir yang
mengoperasikan kereta. “Mereka... orang baik jadi kamu harus bersikap baik
terhadap mereka. Lakukan apa yang mereka minta dan jangan bertanya. Kamu hanya
menuruti keinginan mereka. Mereka ingin melakukan yang terbaik untukmu Al dan
kamu adalah gadis yang istimewa. Mereka tidak akan menyakitimu!” jelas paman.
Al seketika
mengurungkan niatnya untuk bertanya padahal ia memiliki banyak pertanyaan
tentang hari ini. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti tapi ia percaya
dengan paman. Ia pun yakin kalau apa yang dikatakan oleh paman adalah benar.
Selama ini paman selalu baik padanya dan selalu bertindak sebagai orang tuanya.
Akhirnya Al pun mengangguk.
Kereta berhenti dan
otomatis Al keluar bersama paman. Paman tidak mengatakan apa-apa lagi. Al pun
mengikuti kemana paman pergi hingga membawanya ke sebuah gubuk yang terlihat
tidak asing bagi Al. Gubuk tua, berwarna gelap dan seram. Melihat paman yang
melangkah masuk membuat Al terpaksa mengikutinya. Al mesti berhati-hati ketika
berjalan karena gelap.
Al melihat paman
berhenti sehingga Al pun melangkah lebih cepat dan berhenti di dekat paman. Al
mengamati kesekitar, berusaha untuk mengingat-ingat tempat itu. Tapi Al tidak
bisa mengingatnnya dimana.
“Dia sudah disini,
Titi!” ucapan paman membuat Al menoleh. Ia merasa familiar dengan ini.
Tak berselang lama seorang
wanita tua, berambut putih panjang menghampiri mereka berdua. Ia melihat ke
paman sebentar sebelum memandang kepada Al lama.
“Dia sudah besar
dan... cantik. Dia gadis yang cantik!” kata wanita tua itu tanpa mengalihkan
pandangannya dari Al. Al mengamati nenek itu penasaran.
“Ya, Titi.” Jawab
paman pendek.
“Kau membesarkannya
dengan baik!” pujinya.
“Kalau begitu, biar
dia diurus oleh Kola!” katanya pada paman.
Tak berselang lama
beberapa orang wanita muda, tepatnya gadis, yang usianya lebih tua beberapa
tahun dari Al muncul dan membawa Al ke suatu tempat. Al sempat ragu dan ia
memandang paman mencari dukungan. Paman menganggukkan kepalanya sehingga Al
memutuskan untuk ikut.
Al dibawa ke sebuah
kolam dan ia dipaksa untuk membuka pakaiannya. Ia menolak namun gadis-gadis itu
dengan cepat melepas paksa pakaiannya hingga ia telanjang bulat. Wajah Al bersemu
merah dan ia berusaha untuk menutupi tubuhnya dengan lengan sebisanya.
“Masuklah ke dalam
air!” perintah salah seorang.
Dengan sigap Al
melakukannya karena ia ingin cepat-cepat menyembunyikan diri. Ia cemas karena
ada yang melihatnya telanjang dan bahkan ada yang menungguinya ketika mandi.
Gadis-gadis itu tanpa
ragu menyabuni tubuh Al dan menggosoknya. Al sempat berontak tapi ia gagal. Ia
kalah jumlah dan ia harus menyerah dengan “serangan” gadis-gadis itu. Tidak
pernah sebelumnya ada yang menyentuh tubuhnya selain dirinya sendiri.
Selesai mandi, tubuh
Al langsung dibalut dengan kain putih yang sudah mereka siapkan dan dibawa ke
sebuah ruangan. Ia didandani dan diberi pakaian yang bagus. Terlintas dipikiran
Al untuk bertanya-tanya tapi ia teringat dengan pesan paman padanya untuk tidak
menanyakan apapun sehingga ia hanya diam. Tapi ia juga penasaran dimana paman.
Apakah paman juga mengalami seperti yang dialaminya, dimandikan dan diberikan
pakaian yang bagus, tanyanya ingin tahu.
Al jadi terlihat
cantik dengan pakaian berwarna putih itu. Ia tidak pernah berdandan sebelumnya
sehingga ia terkejut melihat pantulan dirinya di cermin. Belum puas ia
mengagumi dirinya ia sudah dibawa keluar dan ia langsung dihadapkan pada
nenek-nenek yang beberapa waktu lalu ditemuinya.
“Baiklah, semuanya
sudah siap jadi kita mulai ritualnya!” ucap wanita tua itu.
Al mengamati sekitar
dan ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja yang ada di sekelilingnya.
Terlalu gelap dan hanya pendar api yang ada di depannya yang menerangi. Ia
berada di sebuah tempat terbuka tapi hari benar-benar sudah malam. Ia tidak
menyangka jika “mandi dan ganti bajunya” tadi memakan waktu selama itu.
Melihat ke depan, Al
mendapati bahwa nenek itu sedang menggumamkan sesuatu yang tidak dimengertinya.
Ia pun teringat dengan ucapan nenek itu sebelum mulai menggumamkan sesuatu itu
bahwa dia membicarakan tentang ritual. Al jadi penasaran, ritual apa yang
sedang dilakukannya.
Setelah cukup lama
hingga membuatnya bosan, akhirnya nenek itu sudah tidak menggumamkan
mantra-mantra. Ia terdiam sebentar sebelum berbalik dan menghadap pada Al.
“Minumlah ini!”
katanya pada Al. Ia mengulurkan sebuah wadah yang berisi air berwarna merah.
Al ragu untuk
menerima namun wanita itu terus menatapnya sehingga ia mau menerimanya. Al
meminumnya pelan untuk menghindari “kejutan” dari rasa minuman itu. Namun begitu
minuman itu menyentuh lidahnya, Al merasa lain, berbeda dari yang ia kira. Air merah
itu ternyata manis, berbeda dari jenis minuman yang pernah diminumnya sehingga
ia pun meminumnya dengan cepat.
“Bagus!” puji nenek
setelah Al menghabiskan minumannya. Ia pun mengambil wadah itu dari tangan Al
dan melemparkannya ke dalam api. Api pun berkilat ketika benda itu masuk ke
baranya.
Nenek itu mengucapkan
beberapa mantra lagi sebelum menyuruh gadis-gadis tadi untuk membawa Al ke
sebuah ruangan yang digunakannya untuk berganti pakaian beberapa waktu yang
lalu. Namun ia heran melihat ada yang berbeda dengan tempat itu. Ada sebuah
tikar yang dihampar di lantai dan bara api, juga besi-besi. Belum cukup Al
bertanya-tanya soal itu nenek tadi masuk ke dalam ruangan. Al bahkan tidak
sadar kalau gadis-gadis tadi sudah keluar.
“Al, duduklah disini!
Punggungi aku!” ia memberikan isyarat agar Al duduk di depannya, di atas tikar.
Al terdiam dan
menunggu apa yang akan dilakukan nenek itu, juga dirinya. Hingga kemudian Al
merasakan kulit dingin menyentuh punggungnya dan tiba-tiba saja menarik
pakaiannya turun.
Al terpekik dan
otomatis menahan.
“Tidak apa-apa, Al!”
katanya menengakan. Ia menariknya turun lagi.
Kulit Al yang terbuka
meremang mengantisipasi sentuhan yang tak diketahuinya.
“Apapun yang terjadi
diam, Al! Dan yang terpenting, jangan berteriak ataupun melawan karena hal itu
hanya akan lebih menyakitimu saja. Taukah kau, Al, bahwa kau istimewa. Kau
pilihan dari banyak pilihan. Berbanggalah dengan itu!” hiburnya. Mendengar
ucapannya itu Al jadi merasa lebih tenang.
“Gigitlah ini!”
katanya sambil mengulurkan sebuah gulungan kain.
Al menerima dan
memandangnya beberapa saat. Ia tidak boleh bertanya jadi ia melakukan seperti
yang dikatakan.
Namun selain
mendengar suara wanita itu Al juga mendengar suara lain. Ia mendengar gesekan
besi dan derak bara api. Kemudian ketika suasana berubah hening, Al dikejutkan
dengan sengatan panas di pungungnya dan ia menggigit gulungan kain itu erat.
“Tenanglah Al!” kata
wanita itu.
Tubuh Al terguncang
karenanya dan ia merasa tidak nyaman di tempatnya.
“Tetap diam Al!”
suara wanita itu lebih tegas. Ia menekan bahu Al agar tetap diam.
Al kesakitan dan ia
berniat berontak tapi ia tak diizinkan untuk pergi. Seiring dengan sengatan
yang berikutnya, keinganan Al untuk pergi begitu kuat namun kakinya tak
merespon, begitu pula dengan tubuhnya. Meski begitu ia tetap bisa merasakan
panasnya bara api yang membakar kulitnya.
Tangal Al menggenggam
ujung bajunya dengan erat dan gigitan kain di mulutnya menegang setiap kali
bara itu membakar kulitnya. Keringatnya bercucuran dan ia benar-benar
kesakitan. Ia tersiksa. Waktu yang bergulir lama turut menyiksanya. Ia tidak
tahu berapa lama siksaan ini akan berlangsung.
“Nah, sekarang sudah
selesai!” ucap nenek itu lega setelah beberapa waktu penyiksaan.
Al yang mendengarnya
pun ikutan lega. Namun punggungnya masih terasa terbakar meski nenek itu sudah
menghentikan aktifitasnya untuk membakar punggungnya. Ia merasa kesakitan luar
biasa dan ia sulit untuk menjelaskan rasa sakitnya. Tubuhnya basah kuyup dan
lemas. Ia sama sekali tak mengerti kenapa ia mesti melakukan hal ini. Ia
sungguh ingin menanyakannnya pada seseorang namun sakit dipunggung menahannya
dan tak lama kemudian ia pun tak sadarkan diri karena tidak tahan menahan sakit
punggung yang terbakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar