Translate

Jumat, 18 September 2020

Pengakuan

 

Pengakuan

 

 

Kenapa?

Kenapa? Selalu saja......

Kenapa aku......

Dan kenapa aku mesti....

            Selalu saja ada. Pertanyaan itu. Selalu kenapa dan kenapa. Ku tak tahu mesti kenapa. Ku merasa bingung hingga menjadikanku tak berguna. Aku ragu, emakin menambah tak bergunaanku. Kenapa selalu aku. Aku tak dihargai. Ku tak diangap. Tak ada yang menyadari keberadaanku. Tak ada yang menoleh, memerhatikan, ataupun menyapaku. Apalagi bercakap denganku.

            Tapi, harga dari orang lain yang diberikan pada diri itu jauh lebih penting. Harga terhadap diri yang diberikan oleh orang itu bukanlah berupa materi. Tapi, penghargaan yang diberikan berupa penghormatan terhadap diri. Karena dengan merhargai itu sudah mencakup keseluruhan. Pengakuan, pasti ada. Karena ada penauan maka penghargaan menjadi ada.

            "Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain."

            Kalimat itu adalah kalimat yang berasal dari nabi.Yaitu salah satu dari ribuan, bahkan puluh ribuan, hadist nabi. Kalimat itu mengisaratkan kalau mausia yang aik adalah manusia yang berguna (bermanfaat) bagi manusia yang lain. Berarti nilai seseorang itu ditentukan oleh seberapa banyak ia dimanfaatkan oleh orang lain. Namun agaknya kata itu terlalu kasar untuk diucapkan. Manusia itu dinilai berdasarkan dari seberapa besar ia bermanfaat atau mungkin membantu orang lain ( namun intinya tetap saja bermanfaat bagi orang lain).

            Namun jika seberapa banyak ia bermanfaat, mungkin orang yang di sebut kuli pesuruh atau relawanlah yang menang. Karena mereka benar-benar bermanfaat bagi orang lain, bahkan sampai dimafaatkan. Tapi kata dimanfaatkan itu memiliki arti yang sungguh tak mengenakkan. Dimanfaatkan. Siapa yang mau dimanfaatkan?

            Mana ada orang yang mau dimanfaatkan oleh orang lain. Itu nampak seperti merendahan derajatnya, tak dihargai atau dianggap remeh. Utamanya dimata orang itu dan dimata orang lain, karena tak memiliki harga, tak berguna, bahkan mungkin ia lebih baik dimanfaatkan daripada hidup tak berguna, dianggap ia bodoh, atau apalah. Ada juga orang yang berasumsi seperti itu. Entah itu orang yang memanfaatkan atau yang dimanfaatkan.

            Orang yang "memanfaatkan" biasanya ia lebih tinggi derajatnya dari pada orang lain hingga ia memandang orang lain itu rendah. Tanpa ada dia orang itu takkan berguna. Dan tanpa ada dia ia takkan berarti apa-apa, karena ialah yang membuthkan orang yang lebih tinggi darinya. Sebaliknya orang yang "dimanfaatkan" itu justru bangga dengan keadaannya. Ia direndahkan malah bangga. Diremehkan malah bangga. Ia berasumsi kalau ia sangat berarti bagi orang itu. Ia tak merisaukan dan bangga dngan gelarnya yang dijadikan sebagai orang rendahan.

            Semua itu sudah lumrah terjadi didunia ini. Kaya yag miskin. Memanfaatkan dan dimanfaatkan. Sekitar lingkungan kita juga banyak. Hanya saja mungkin bahasanya yang di perhalus. Antara orang satu dengan orang yang lain memiliki hubungan yang takkan pernah terpisahkan. Mereka akan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Sudah hukum alam.

            Terkadang aku juga berpikiran seperti itu, dimanfaatkan oleh orang lain itu lebih baik dari pada tak bermanfaat bagi orang lain. Paling tidak ada yang membutuhkanku walaupun begitu.

+++

            Tapi kenapa? Selalu saja aku!

            Aku. Selalu saja aku. Aku tak tak bisa. Ingin rasanya aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Mencurahkan semua yang mengganjal di hatiku, memenuhi jiwaku. Andai kalau aku bisa mencurahkan sedih ku, mungkin aku menjadi lebih baik. Tapi ku tak bisa. Sedih itu kini telah berubah menjadi amarah. Dan kini amarah itu menyelimuti hatiku. Terasa sesak. Di dada.

            Kenapa?

            Aku selalu tak bisa terima itu. Aku tak bisa terima kalau aku dipandang remeh oleh orang lain. Entah itu temanku, keluargaku, apalagi guruku. Aku tahu seberapa besar kemampuanku. Seberapa bakatku. Aku tahu itu. Aku menyadari itu. Tapi aku? Aku ingin membuktikan keberadaanku. Kemampuanku. Bakatku. Aku ingin mereka menyadari keberadaanku. Seberapa berharganya diriku. Aku pasti bisa. Hanya saja, aku perlu waktu yang cukup lama untuk membuktikannya.

+++

            Dan kenapa mesti aku?

            Sungguh, jika kupikirkan terus aku takkan pernah merasakan ketenangan dalam hidupku.

Sepupu dan Komikku

 

Sepupu dan Komikku

Kenapa bulu kuduk berdiri? Tak terdengar setitik suara pun. Yang terdengar hayna rengekan pedal yang mengeluh kena injakan kaki. Terlihat jauh disana ada banyak orang sedang berlomba dengan burung-burung untuk mencari rizki. Ada sekelompok ibu-bu yang bersemangat untuk menanam pagi. Bahkan ada juga bapak-bapak yang disibukkan oleh burung-urung, yang mencuri biji-iji padi.

Surya masih bersembunyi dibalik gunung seakan enggan untuk keluar. Angin berdesis. Rara mencoba menggenggam lengan kirinya dengan tangan kanannya karena angin berkroyokan masuk melewati celah-celah baju.

“Uh, dinginnya!” gumammnya. Dan beberapa kali bergantian dengan tangan kanannya.

Rara merasa dingin, adem-panas-adem-panas. Aduh, kenapa ini? Tangan berkeringat, sebentar-sebentar mengusap tangannya. Kenapa jadi berkeringat begini padahal baru beberapa menit lalu mandi dan matahari tak telrihat sinarnya. Kenapa jadi deg-deg-an, ada perasaan takut dan senang. Tengok kanan, tengok kiri.

Didapatinya ada seorang duduk di atas motr. Masih lengkap dengan helm dan jaket serta sarung tangan. Tepat di depan toko. Daritadi dia asyik terus mandangi Rara.

“Aduh, jadi salah tingkah nih! Kenapa juga orang itu?! Ha!” batiin Rara. Lalu menganyuh pedal sepedanya lebih cepat. Tapi Rara merasa kalau orang itu masih memperhatikannya.

“Aaaaa...” gumamya. Lebih cepat lagi mengayuh sepeda. Untung madrasah suda dekat. Lebih baik daripada yang tadi, hati terasa lebih tenang.

Srek. Srek. Srek. Suara tukang kebun sedang mengerjakan tuasnya. Rar menyusuri halaman sekolah dengan menyeret sepedanya. Berjalan dengan santai menuju kelas.

Sesampainya di emperan kelas,

“Hei, tumben berangkat pagi?” sapa Ana. Menghentikan langkah Rara.

“Ih, kau ini!” menggedor kaca di depannya. “Hampir saja jantungku copot!” mencoba menenangkan diri.

“Eh, awas kacanya pecah!” teriak Ana.

“Ih...” menggedor lagi. Dengan spontan Ana menghindar.

“Yah, nggak kena deh!” ejek Ana dari dalam.

“Ih..” gemes kepada Ana. Lalu Rara berjalan cepat masuk ke kelasnya. “Ih, mau aku pites kamu?” Rara gemes. Tertawa bersama ejenak

“Kok berangkat pagi-pagi sekali?” tanya Ana setelah duduk.

“Kepagian ya? Apa sebaiknya aku pulang lagi?” mulai bersandar.

“Kalau kau mau ya boleh-boleh aja!”

“Kalau kau mau mengantar ya ngga masalah. Ayo!” menyeret tangan Ana.

“Ah, engga-ngga. Cuma bercanda kok!” Ana tertawa.

“Aku juga!” Rara tertawa.

“Aku kira beneran!”

“IH, ya nggalah! Aku ngga mau balik lagi. Serem deh ketemu orang itu!” bergidik.

“Orang siapa?” Ana tak mengerti.

“Aku juga ngga tahu. Dia memperhatikan ku dengan memakai helm jadi aku tidak bisa melihat wajahnya. Otomatis aku juga tidak tahu siapa dia. Tapi sepetinya aku kenal deh!” duga Rara.

 

Tak terasa sudah banyak orang yang datang. dari jauh terdengar suara yang memanggil-manggil nama Rara.

“Rara! Rara! Rara!” suaranya semakin mendekat.

“Rara!” gemes kepada Rara. Sampa-samapai menarik-narik baju Rara.

“Iza, kenapa? Jangan tarik-tarik bajuku?” mencoba melepas pegangan Iza,

“Ra, yang kamu tunggu-tunggu sudah datang loh!” masih tetap menarik-narik bau Rara.

“Hei, apanya yang ditunggu-tunggu?” Ana mencolek Iza.

“Komik kesukaanmu, Ra!” kata Iza semangat.

“Benarkah?” Rara memastikan. Terukr senyum diwajahnya.

“Ya elah, komik!” seru Ana.

“Iya. Kalau ngga percaya coba ke toko buku sekarang. Tapi semoga masih ada ya!”

“Kau tahu darimana Za?” masih belum yakin. Tapi dia sudah nggak sabar kelihatnnya.

“Dari temenku. Cepet nanti keburu habis loh!” za sudah mau pergi. “Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu ya. Bye!” Iza pergi. Tapi masih sempat-sempatnya mencubit pipi Rara.

“Ih, aku jadi ngga sabar.” Senangnya hati Rara.

“Hei, sabar saja! Masih nanti sore tuh! Simpan semangatmu untuk nanti!” saran Ana.

“Ih, senangnyaku!” menarik baju Ana sambil loncat-loncat saking gembiranya. “Aku ngga sabar menunggu nanti sore.” Masih terus saja lompat-lompat.

“Ngga malu ya dilihat anak-anak lain?” Rara tertawa gembira. “Ih!” teriaknya gemes.

“Hei, lepaskan bajuku!” marahi Ana. Tapi Rara malah cengar-cengir.

Kringggg.

Suara bel panjang berbunyi sudah waktunyantuk pulang. rara yang sudah ngga sabar dari pagi begitu gurunya keluar langsung ikut keluar. Mengambil sepedanya dan siap untuk pergi.

Dibawah terik matahari sore Rara dengan penuh semangat mengayuh sepedanya menuju ke toko buku. Dengan hati berbinar-binar dia menuju ke sebuah toko. Akhirnya sampailah ia di toko itu. Dengan perasaan gembira serta diiringi senyum, Rara memarkir sepedanya.

Dengan penuh keyakina dia mengarahkan langkah kaki ke lantai toko itu. Hati berbunga-bunga sudah tak sabar untuk menunggu beberapa menit lagi. Dengan keyakinan yang mantap dia memegang gagang pintu dan membukanya. Dariluar tooko, terlihat Rara bersemangat menuju tempat buku komik.

Beberapa saat elah berlalu Rara keluar dari toko. Menutup pintu dengan pelan. Menghela nafas sejenak. Wajahnya telrihat masam. Wajah cerianya tadi telah ditelan oleh toko itu. Apa gerangan yang terjadi padanya? Rara telrihat tak bertenaga, kenapa dia berubah secepat itu?

“Aaaa!” teriaknya teahan. Malu didengar orang. Nanti dikiranya yang bukan-bukan. Hatinya mendongkol, ingin cepat-cepat menegur Iza. “Awas nanti!” geramnya pada diri sendiri.

Rara mengayuh sepedanya lebih lcepat. Sudah gak sabar, dan hatinya geregetan.

“Za, gak ada!” kata Rara keras. “Oh, katamu ada, aku sudah dari sana dan ternyata apa? Sudah habis?!” protesku.

“Hei, baru aku angkat sudah teriak-teriak!”

“Ih, jangan keras-keras Za! Aku mendengarnya, kau mau membuat telingaku sakit?” sudah sedikit tenang. Terdengar Iza menghela nafas.

“Kamu juga sih. Aku kan tadi bilang, ‘kalau masih ada’. Soalnya kata temanku itu tinggal satu. Mungkin buku itu sudah terbit darikemarin!” jelas Iza.

“Terus gimana dong?”

“Hihihi!” terdengar diseberang sana Iza merasa geli.

Iya aka ku coba untuk cari informasinya.” Iza mau membantu.

“Kalau begitu terima kasih ya! Iza baik deh!” sok manis.

“Yee, maunya. Ya sudah cepet matikan telponnya!” Iza mengakhiri.

“Ohya. Bye. Awas jangan lupa!” Rara mengingatkan.

“Iyaya. Pokoknya beres. Ya amp....” Dan telponnya sudah dimatikan.

Besoknya ketepatan dengan hari Jumat. Pulangnya tidak kesorean. Jam 2 sore Rara janjian dengan Iza mau ke toko buku yang telah dibicarakan oleh Iza tadi pagi. Hari ini Iza akan dtang ke rumah Rara.

Rara yang nggak sabar dari kemarin sudah menunggu Iza dari tadi. “Aduh, Iza kok belum datang juga!” katanya pada diri sendiri. Ra berdiri di depan rumahnya. Di tengah jalan Rara melihat kanan dan kiri. Menunggu kedatangan Iza.

Beberapa saat kemudian, Rara dikejutkan oleh suara klakson sepeda motor.

“Hei, lama banget sih!” seru Rara setelah dilihatnya Iza.

“Em, ya gak lah!” menghentikan motornya. “Malahan belum ada jam 2.” Kata Iza setelah melihat jam tangan ungu yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

“YA sudah. Ayo cepat kesana! Nanti keburu habis lagi!” Rara naik.

“Ngga sabaran banget sih!” Iza mulai menjalankan motornya menyurusi jalanan beraslpa. Dalam hati Rara sudah geregetan ingin baca buku itu. Sudah 6 bulan lamanya dia menunggu terbitnya buku itu. Uang sakunya sengaja ia kumpulkan untuk persiapan membeli buku itu.

Di tengah jalan Rara bertanya.

“Ngomong-ngomong kita mau ke toko buku mana Za?” Rara ingin tahu.

“Ke toko Bang Jon!” sahut Iza.

“Toko bang Jon itu dimana?”

“Sudahlah jangan tanya lagi nanti juga tahu. Pokoknya ada deh kamu tinggal beli aja!”

“Ya udah kalau gitu!” Rara tersenyum.

Tak terasa sudah sampai di tujuan. Dengan segera Rara dan Iza masuk ke toko itu. Ternyata sulit juga mencari tempat buku-buku. Mereka kebingungan mencari tempatnya.

“Za kamu yakin ini tempatnya?” tanya Rara memastikan, “jann-jangan salah lagi!” duga Rara.

“Ngga kok, bener ini. Kata temanku tempatnya mirip supermarket. Kamu tadi juga melihatnya kan? Ada papan namanya?” Rara mengangguk.

“Coba tanya karyawannya saja, ya?” usul Iza.

“Iya. Iya.” Rara langsung setuju.

Kebetulan ada seorang karyawan yang melintas di depan mereka membawa sesuatu. Dengan segera Rara menghentikannya.

“Permisi, Maz. Tempat buku dimana ya?” tanya Rara tanpa ragu.

“O, disana. Lurus saja!” jawabanya dengan ramah. Rara mengikuti petunjuk kakak itu dengan matanya.

“Terima kasih, Mas!” ucap Iza. Kakak itu lalu pergi tapi Rara tepat diam saja. “Hei, terima kasihnya telat!” kata Iza pada Rara.

“Ohya?” dilihatnya kaa tadi sudah tidak ada.

“Sudah pergi, Non!” sahut Iza.

“YA udah kalau gitu!” Rara menuju tempat yang telah diberitahu kakak tadi. Iza mengekor di belakangnya.

“Ra, pelan-pelan!”

“Ngga mau. Waktu ku udah banyak kebuang. Aku dari tadi merasa nggaenak. Kalau kehabisan lagi gimana?” Rara terus berjalan.

Sampai di bagian buku, Rara masih harus mencari bagian buku komik. Iza muter-muter mengikutinya. Akhirnya Rara melihat ulisan di atas rak seukuran bahu yang menunjukkan buku komik. Dengan segera Rara menuju kesana.

Tapi disana ada seseorang. Berdiri diam tak bergerak. Orang itu sepertinya bingnug mau ngambil yang mana. Dia mengambil dan mengamati buku itu bergantian. Dari dekat terlihat jelas kalau dia seorang cowok, tinggi, mengenakan kaos biru ditambah jaket yang tak dikancingkan. Rara merasa sepertinya pernah melihat cowok itu.

“Ah, gak penting!” batinnya.

Lalu Rara memfokuskan perhatiannya pada tumpukan komik yang ada di hadapannya. Lama memilah-milah tapi tak kunjung menemukan buku yang dicari. Rara terkejjut, buku komik yang sedang ia cari-cari ternyata ada di tangan cowok itu. Rara geregetan ingin merampas tapi ragu.

Rara mencoba cari cara lain selagi orang itu sibuk dengan pilihannya. Cowok itu pun dari tadijuga memperhatikan Rara dan Iza yang sedang sibuk dengan buku-buku di hadapan mereka. Dia mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan Rara dan Iza. Akhirnya Rara mendapatkan ide.

Saat mau menjalankan idenya, tiba-tiba.

“Ra, mau ngapain?” bisik Iza. Yang otomatis menghentikan rencananya.

“Ish, diam!” tukas Rara. Cowok itu melihat kedua gadis sedang bisik-bisik, dikiranya mereka mau ke tempatnya. Jadilah ia putuskan untuk pergi.

“Rara!” suara Iza keras karena kesal pada Rara, yang tidak mau cerita apa yang dipikirkannya.

Cowok itu pun mendengarnya sehingga sempat terhenti. “rra? Apa salah satu diantara mereka ada yang bernama Rara? Rara yang lain atau?” pikir cowok itu.

“Ih!” kesal Rara. Rencananya gagal sebelum dikerjakan.

“Kenapa sih Ra?” Iza ikutan kesal.

“Tuh, kan gara-gara kamu sih dia pergi!” Rara kecewa.

“Terus gimana dong? Memangnya apa sih rencanamu tadi?” Iza ingin tahu.

“Tadinya aku mau mempengaruhinya agar dia mau memberikan komik itu padaku.” Kata Rara kecewa. “Tapi aku tidak boleh berhenti sampai disini. Aku harus mendapatkanny! Sudah di depan mata lagi!” Rara bersemangat lagi.

“Itulah Rara!” Iza mendukungnya. Segera Rara mencari cowok itu.

Dari kejauhan terlihat cowok itu sedang membayar di kasir. Agar tidak kehilangan cowok itu, Rara berlari untuk menghentikannya. Namun ternyata cowok itu sudah selesai dan keluar dari toko. Rara meninggalkan Iza yang berada di belakangnya dan menghentikannya.

“Mas, tunggu!” Rara berhenti tepat di depan cowok itu hingga mengagetkannya. Dia terlihat bingung dengan kehadiran Rara yang tiba-tiba.

“Mas boleh gak komiknya aku beli? Plis, Mas! Tolong aku!” Rara mencoba membujuk. Memasang tampang memelas dan merayu.

Orang yang dipanggil ‘mas’ tadi heran.

“Apa? Komik? Bukannya masih ada di dalam?”

“Tapi yng sama dengan dengan yang mas bawa sudah gak ada.” Membuat cowok itu tembah heran.

“Ayolah Mas! Tolong, hanya tinggal ini saja mas yang ada!” memohon sambil menangkupkan kedua tangannya. Cowok itu malah tersenyum melihat gadis di depannya memohon-mohon.

“Maaf dik, aku tak bisa bantu. Soalnya buku ini mau aku berikan pada adikku!” jawabnya setelah senyum. Lalu pergi menuju motornya.

Masih dilihatnya cowok itu. Apalagi tas di bawanya dengan tatapan tak rela. Rara ingin sekali mengambil buku di tas itu. Lalu, “Loh, bukannya motor itu motor yang dulu?” mengingat-ingat. “Tapi pabrik tiakd buat Cuma satu kan?” tepisnya kemudian.

Dengan tangan hampa Rara menuju ke tempat Iza menunggu. Pupus sudah keinginannya sudah di depan mata disambar orang duluan. Betapa kesal dan kecewanya perasaan Rara.

“Ra, gimana? Dapat?” tanya Iza.

“Dapat apa? Aku sudah mohon-mohon tapi dia tidak kasihan padaku!” jawabnya lesu. Lalu akhirnya mereka pulang.

 

 

Rara tak haya larut dalam kekecewaan yang lalu biarlah berlalu. Kini dia bersemangat lagi, yang lalu dilepaskannya. Sekarang Rara harus bersabar lagi untuk menunggu terbitnya buku itu.

Dia berangkat ke sekolah dengan ceria. Semangat baru untuk hari baru.

Tak disangka, ternyata hari ini pulang lebih awal. Belum ada setetes keringat pun yang menetes sudah dipulangkan. Jadi Rara pulang lebih awal dan juga akan lama berada di rumah.

Ketika hampir tiba di rumah, Rara melihat oarng yang yang tak asing. Laju sepda Rara perlahan melambat. Orang itu mengenakan perlengkapan berkendara lengkap. Mulai dari helm, jaket, sarung tangan, bersepatu dan membawa tas. Dan dia melihat kehadiran Rara.

Rara menambah kecepatannya begitu melintas di depannya. “Sepertinya pernah lihat!” batin Rara. “Oh, yang waktu itu! Depan toko!” Rara menambah kecepatannya lagi.

Orang itu masih memperhatikan Rara. Saat ada orang melintas, segera di hentikannya.

“Maaf, Pak! Permisi. Saya mau tanya.” Katanya setelah membuka helm.

Setelah mendapatkan jawabannya dikenakannya lagi helm dan mulai mengendarai motornya. Cowok itu berhenti tepat di depan rumah Rara. Rara yang mengetahui kedatangannya langsung lari masuk rumah dan bergidik.

Di dalam rumah, ibu Rara mendengar kedatangan Rara dan menghampirinya.

“Ada apa sih? Pake lari-lari segala!” tanya ibunya lembut.

“Itu, Bu ada orang misterius. Takut aku!” bergidik.

“Ada-ada saja kamu, Ra!” ibunya menggeleng dan tersenyum. Rara lari menuju kamarnya.

Terdengar seseorang telah membunyikan bel. Dengan segera ibu Rara membukakan pintu. Dari dalam kamar Rara mendengar ibunya tertawa dengan seseorang. Rara merasa terusik dan memutuskan untuk keluar.

Rara berjalan dengan penaaran. Sampai segitunya ibunya tertawa.

Betapa terkejutnya Rara melihat seorang cowok tak asing sedang berbicara dengan ibunya.

“Iya, bener. Dia orang di toko itu! Orang yang telah mengambil buku komikku!” batin Rara.

Ibu Rara menyadari kehadiran Rara menyuruh Rara duduk di sampingnya. Rar amasih heran dengan inu semua. Cowok itu pun sepertinya tidak terkejut dengan kehadiran Rara. Malah tersenyum terus, tebar pesona. Lalu.

“Ra, kamu masih ingat gak dengan dia?” tanya ibunya. Menunjuk cowok itu.

“Siapa, Bu? Dia?!” masih bingung.

“Hei, Ra! Masa kamu lupa denganku?” kata cowok itu sok akrab.

“Mana mungkin kulupa! Kakak yang merebut bukuku kan?!” teriak Rara.

“Rara, apa maksudmu?” ibunya ganti tak mengerti. Cowok itu malah tertawa menambah jengkel hati Rara.

Lalu cowok itu mendekati Rara.

“Hei, mau apa?” teriaknya waspada.

Ibu Rara hanya tersenyum geli melihat tingkah anaknya. Cowok itu duduk di samping Rara. Rara tak mau pergi karena yang seharusnya pergi itu cowok itu bukannya Rara. Di tersenyum melihat tingkah Rara lalu mengambil sesuatu dari tasnya.

Mengelurkan sebuah kotak yang tidak terlalu tebal mirip sebuah buku. Dibungkus rapi dengan kertas kado berwarna ungu lalu diberikan pada Rara.

“Ini, bukalah!” katanya diiringi senyum.

Rara masih kesal dengan dia dan memutuskan untuk membuka. Matanya langsung bersinar melihat isinya.

“Bukuku! In bukuku!” teriaknya dalam hati senang. Tersenyum manis akhirnya bukunya kembali ke genggamannya.

“Terima kasih kak!” ucapnya senang.

Cowok itu lalu mengacak-acak rambut Rara dan tersenyum.

“Lalu nama kakak siapa?” tanyanya.

“Yaelah. Belum tahu namaku?!” kecewa cowok itu. “Aduh gimana sih adikku ini!” merasa kesal.

“Rara, dia itu kakak sepupumu. Kak Udin.” Sambung ibunya.

“YA ampun! Kakak toh?” serunya keras.

“Cepat sekali melupakanku!” cemberutnya.

“Habisnya kakak sudah ebrubah. Dulu kan banyak kacangnya di pipi!”

“Hah, kacang? Aduh-” mengacak-acak rambut Rara lebih ganas.

Segera Rara merapikan rambutnya.

“Tapi sekarang lebih ganteng kan?” katanya lagi.

“Ganteng sih ganteng tapi kalau ngelihat orang seperti itu, yang ada malah lari semua!” selorohnya.

“Masa sih?”

“Oh iya. Kak udan Bu kemarin lihat aku kayak mau nelan aku hidup-hidup!” cerita Rara ke ibunya. Dengan sedikit melebih-lebihkan.

Udin dan ibunya hanya tertawa. Suasana jadi rame.

“Aduh, sepupu dan komikku!” batin Rara.


Jombang, 19 September 2020

(Cerita ini juga aku publish di blogku yang lain)