Sepupu dan Komikku
Kenapa bulu kuduk berdiri? Tak
terdengar setitik suara pun. Yang terdengar hayna rengekan pedal yang mengeluh
kena injakan kaki. Terlihat jauh disana ada banyak orang sedang berlomba dengan
burung-burung untuk mencari rizki. Ada sekelompok ibu-bu yang bersemangat untuk
menanam pagi. Bahkan ada juga bapak-bapak yang disibukkan oleh burung-urung,
yang mencuri biji-iji padi.
Surya masih bersembunyi dibalik
gunung seakan enggan untuk keluar. Angin berdesis. Rara mencoba menggenggam
lengan kirinya dengan tangan kanannya karena angin berkroyokan masuk melewati
celah-celah baju.
“Uh, dinginnya!” gumammnya. Dan
beberapa kali bergantian dengan tangan kanannya.
Rara merasa dingin,
adem-panas-adem-panas. Aduh, kenapa ini? Tangan berkeringat, sebentar-sebentar
mengusap tangannya. Kenapa jadi berkeringat begini padahal baru beberapa menit
lalu mandi dan matahari tak telrihat sinarnya. Kenapa jadi deg-deg-an, ada
perasaan takut dan senang. Tengok kanan, tengok kiri.
Didapatinya ada seorang duduk
di atas motr. Masih lengkap dengan helm dan jaket serta sarung tangan. Tepat di
depan toko. Daritadi dia asyik terus mandangi Rara.
“Aduh, jadi salah tingkah nih!
Kenapa juga orang itu?! Ha!” batiin Rara. Lalu menganyuh pedal sepedanya lebih
cepat. Tapi Rara merasa kalau orang itu masih memperhatikannya.
“Aaaaa...” gumamya. Lebih cepat
lagi mengayuh sepeda. Untung madrasah suda dekat. Lebih baik daripada yang
tadi, hati terasa lebih tenang.
Srek. Srek. Srek. Suara tukang
kebun sedang mengerjakan tuasnya. Rar menyusuri halaman sekolah dengan menyeret
sepedanya. Berjalan dengan santai menuju kelas.
Sesampainya di emperan kelas,
“Hei, tumben berangkat pagi?”
sapa Ana. Menghentikan langkah Rara.
“Ih, kau ini!” menggedor kaca
di depannya. “Hampir saja jantungku copot!” mencoba menenangkan diri.
“Eh, awas kacanya pecah!”
teriak Ana.
“Ih...” menggedor lagi. Dengan
spontan Ana menghindar.
“Yah, nggak kena deh!” ejek Ana
dari dalam.
“Ih..” gemes kepada Ana. Lalu
Rara berjalan cepat masuk ke kelasnya. “Ih, mau aku pites kamu?” Rara gemes.
Tertawa bersama ejenak
“Kok berangkat pagi-pagi
sekali?” tanya Ana setelah duduk.
“Kepagian ya? Apa sebaiknya aku
pulang lagi?” mulai bersandar.
“Kalau kau mau ya boleh-boleh
aja!”
“Kalau kau mau mengantar ya
ngga masalah. Ayo!” menyeret tangan Ana.
“Ah, engga-ngga. Cuma bercanda
kok!” Ana tertawa.
“Aku juga!” Rara tertawa.
“Aku kira beneran!”
“IH, ya nggalah! Aku ngga mau
balik lagi. Serem deh ketemu orang itu!” bergidik.
“Orang siapa?” Ana tak
mengerti.
“Aku juga ngga tahu. Dia
memperhatikan ku dengan memakai helm jadi aku tidak bisa melihat wajahnya.
Otomatis aku juga tidak tahu siapa dia. Tapi sepetinya aku kenal deh!” duga
Rara.
Tak terasa sudah banyak orang
yang datang. dari jauh terdengar suara yang memanggil-manggil nama Rara.
“Rara! Rara! Rara!” suaranya
semakin mendekat.
“Rara!” gemes kepada Rara.
Sampa-samapai menarik-narik baju Rara.
“Iza, kenapa? Jangan
tarik-tarik bajuku?” mencoba melepas pegangan Iza,
“Ra, yang kamu tunggu-tunggu
sudah datang loh!” masih tetap menarik-narik bau Rara.
“Hei, apanya yang
ditunggu-tunggu?” Ana mencolek Iza.
“Komik kesukaanmu, Ra!” kata
Iza semangat.
“Benarkah?” Rara memastikan.
Terukr senyum diwajahnya.
“Ya elah, komik!” seru Ana.
“Iya. Kalau ngga percaya coba
ke toko buku sekarang. Tapi semoga masih ada ya!”
“Kau tahu darimana Za?” masih
belum yakin. Tapi dia sudah nggak sabar kelihatnnya.
“Dari temenku. Cepet nanti
keburu habis loh!” za sudah mau pergi. “Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu
ya. Bye!” Iza pergi. Tapi masih sempat-sempatnya mencubit pipi Rara.
“Ih, aku jadi ngga sabar.”
Senangnya hati Rara.
“Hei, sabar saja! Masih nanti
sore tuh! Simpan semangatmu untuk nanti!” saran Ana.
“Ih, senangnyaku!” menarik baju
Ana sambil loncat-loncat saking gembiranya. “Aku ngga sabar menunggu nanti
sore.” Masih terus saja lompat-lompat.
“Ngga malu ya dilihat anak-anak
lain?” Rara tertawa gembira. “Ih!” teriaknya gemes.
“Hei, lepaskan bajuku!” marahi
Ana. Tapi Rara malah cengar-cengir.
Kringggg.
Suara bel panjang berbunyi
sudah waktunyantuk pulang. rara yang sudah ngga sabar dari pagi begitu gurunya
keluar langsung ikut keluar. Mengambil sepedanya dan siap untuk pergi.
Dibawah terik matahari sore
Rara dengan penuh semangat mengayuh sepedanya menuju ke toko buku. Dengan hati
berbinar-binar dia menuju ke sebuah toko. Akhirnya sampailah ia di toko itu.
Dengan perasaan gembira serta diiringi senyum, Rara memarkir sepedanya.
Dengan penuh keyakina dia
mengarahkan langkah kaki ke lantai toko itu. Hati berbunga-bunga sudah tak
sabar untuk menunggu beberapa menit lagi. Dengan keyakinan yang mantap dia
memegang gagang pintu dan membukanya. Dariluar tooko, terlihat Rara bersemangat
menuju tempat buku komik.
Beberapa saat elah berlalu Rara
keluar dari toko. Menutup pintu dengan pelan. Menghela nafas sejenak. Wajahnya
telrihat masam. Wajah cerianya tadi telah ditelan oleh toko itu. Apa gerangan
yang terjadi padanya? Rara telrihat tak bertenaga, kenapa dia berubah secepat
itu?
“Aaaa!” teriaknya teahan. Malu
didengar orang. Nanti dikiranya yang bukan-bukan. Hatinya mendongkol, ingin
cepat-cepat menegur Iza. “Awas nanti!” geramnya pada diri sendiri.
Rara mengayuh sepedanya lebih
lcepat. Sudah gak sabar, dan hatinya geregetan.
“Za, gak ada!” kata Rara keras.
“Oh, katamu ada, aku sudah dari sana dan ternyata apa? Sudah habis?!” protesku.
“Hei, baru aku angkat sudah
teriak-teriak!”
“Ih, jangan keras-keras Za! Aku
mendengarnya, kau mau membuat telingaku sakit?” sudah sedikit tenang. Terdengar
Iza menghela nafas.
“Kamu juga sih. Aku kan tadi
bilang, ‘kalau masih ada’. Soalnya kata temanku itu tinggal satu. Mungkin buku
itu sudah terbit darikemarin!” jelas Iza.
“Terus gimana dong?”
“Hihihi!” terdengar diseberang
sana Iza merasa geli.
Iya aka ku coba untuk cari
informasinya.” Iza mau membantu.
“Kalau begitu terima kasih ya!
Iza baik deh!” sok manis.
“Yee, maunya. Ya sudah cepet
matikan telponnya!” Iza mengakhiri.
“Ohya. Bye. Awas jangan lupa!”
Rara mengingatkan.
“Iyaya. Pokoknya beres. Ya
amp....” Dan telponnya sudah dimatikan.
Besoknya ketepatan dengan hari
Jumat. Pulangnya tidak kesorean. Jam 2 sore Rara janjian dengan Iza mau ke toko
buku yang telah dibicarakan oleh Iza tadi pagi. Hari ini Iza akan dtang ke
rumah Rara.
Rara yang nggak sabar dari
kemarin sudah menunggu Iza dari tadi. “Aduh, Iza kok belum datang juga!”
katanya pada diri sendiri. Ra berdiri di depan rumahnya. Di tengah jalan Rara
melihat kanan dan kiri. Menunggu kedatangan Iza.
Beberapa saat kemudian, Rara
dikejutkan oleh suara klakson sepeda motor.
“Hei, lama banget sih!” seru
Rara setelah dilihatnya Iza.
“Em, ya gak lah!” menghentikan
motornya. “Malahan belum ada jam 2.” Kata Iza setelah melihat jam tangan ungu
yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
“YA sudah. Ayo cepat kesana!
Nanti keburu habis lagi!” Rara naik.
“Ngga sabaran banget sih!” Iza
mulai menjalankan motornya menyurusi jalanan beraslpa. Dalam hati Rara sudah
geregetan ingin baca buku itu. Sudah 6 bulan lamanya dia menunggu terbitnya
buku itu. Uang sakunya sengaja ia kumpulkan untuk persiapan membeli buku itu.
Di tengah jalan Rara bertanya.
“Ngomong-ngomong kita mau ke
toko buku mana Za?” Rara ingin tahu.
“Ke toko Bang Jon!” sahut Iza.
“Toko bang Jon itu dimana?”
“Sudahlah jangan tanya lagi
nanti juga tahu. Pokoknya ada deh kamu tinggal beli aja!”
“Ya udah kalau gitu!” Rara
tersenyum.
Tak terasa sudah sampai di
tujuan. Dengan segera Rara dan Iza masuk ke toko itu. Ternyata sulit juga
mencari tempat buku-buku. Mereka kebingungan mencari tempatnya.
“Za kamu yakin ini tempatnya?”
tanya Rara memastikan, “jann-jangan salah lagi!” duga Rara.
“Ngga kok, bener ini. Kata
temanku tempatnya mirip supermarket. Kamu tadi juga melihatnya kan? Ada papan
namanya?” Rara mengangguk.
“Coba tanya karyawannya saja,
ya?” usul Iza.
“Iya. Iya.” Rara langsung
setuju.
Kebetulan ada seorang karyawan
yang melintas di depan mereka membawa sesuatu. Dengan segera Rara
menghentikannya.
“Permisi, Maz. Tempat buku
dimana ya?” tanya Rara tanpa ragu.
“O, disana. Lurus saja!”
jawabanya dengan ramah. Rara mengikuti petunjuk kakak itu dengan matanya.
“Terima kasih, Mas!” ucap Iza.
Kakak itu lalu pergi tapi Rara tepat diam saja. “Hei, terima kasihnya telat!”
kata Iza pada Rara.
“Ohya?” dilihatnya kaa tadi
sudah tidak ada.
“Sudah pergi, Non!” sahut Iza.
“YA udah kalau gitu!” Rara
menuju tempat yang telah diberitahu kakak tadi. Iza mengekor di belakangnya.
“Ra, pelan-pelan!”
“Ngga mau. Waktu ku udah banyak
kebuang. Aku dari tadi merasa nggaenak. Kalau kehabisan lagi gimana?” Rara
terus berjalan.
Sampai di bagian buku, Rara
masih harus mencari bagian buku komik. Iza muter-muter mengikutinya. Akhirnya
Rara melihat ulisan di atas rak seukuran bahu yang menunjukkan buku komik.
Dengan segera Rara menuju kesana.
Tapi disana ada seseorang.
Berdiri diam tak bergerak. Orang itu sepertinya bingnug mau ngambil yang mana.
Dia mengambil dan mengamati buku itu bergantian. Dari dekat terlihat jelas
kalau dia seorang cowok, tinggi, mengenakan kaos biru ditambah jaket yang tak
dikancingkan. Rara merasa sepertinya pernah melihat cowok itu.
“Ah, gak penting!” batinnya.
Lalu Rara memfokuskan
perhatiannya pada tumpukan komik yang ada di hadapannya. Lama memilah-milah tapi
tak kunjung menemukan buku yang dicari. Rara terkejjut, buku komik yang sedang
ia cari-cari ternyata ada di tangan cowok itu. Rara geregetan ingin merampas
tapi ragu.
Rara mencoba cari cara lain
selagi orang itu sibuk dengan pilihannya. Cowok itu pun dari tadijuga
memperhatikan Rara dan Iza yang sedang sibuk dengan buku-buku di hadapan
mereka. Dia mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan Rara dan Iza. Akhirnya
Rara mendapatkan ide.
Saat mau menjalankan idenya,
tiba-tiba.
“Ra, mau ngapain?” bisik Iza.
Yang otomatis menghentikan rencananya.
“Ish, diam!” tukas Rara. Cowok
itu melihat kedua gadis sedang bisik-bisik, dikiranya mereka mau ke tempatnya.
Jadilah ia putuskan untuk pergi.
“Rara!” suara Iza keras karena
kesal pada Rara, yang tidak mau cerita apa yang dipikirkannya.
Cowok itu pun mendengarnya
sehingga sempat terhenti. “rra? Apa salah satu diantara mereka ada yang bernama
Rara? Rara yang lain atau?” pikir cowok itu.
“Ih!” kesal Rara. Rencananya
gagal sebelum dikerjakan.
“Kenapa sih Ra?” Iza ikutan kesal.
“Tuh, kan gara-gara kamu sih
dia pergi!” Rara kecewa.
“Terus gimana dong? Memangnya
apa sih rencanamu tadi?” Iza ingin tahu.
“Tadinya aku mau
mempengaruhinya agar dia mau memberikan komik itu padaku.” Kata Rara kecewa.
“Tapi aku tidak boleh berhenti sampai disini. Aku harus mendapatkanny! Sudah di
depan mata lagi!” Rara bersemangat lagi.
“Itulah Rara!” Iza
mendukungnya. Segera Rara mencari cowok itu.
Dari kejauhan terlihat cowok
itu sedang membayar di kasir. Agar tidak kehilangan cowok itu, Rara berlari
untuk menghentikannya. Namun ternyata cowok itu sudah selesai dan keluar dari
toko. Rara meninggalkan Iza yang berada di belakangnya dan menghentikannya.
“Mas, tunggu!” Rara berhenti
tepat di depan cowok itu hingga mengagetkannya. Dia terlihat bingung dengan
kehadiran Rara yang tiba-tiba.
“Mas boleh gak komiknya aku
beli? Plis, Mas! Tolong aku!” Rara mencoba membujuk. Memasang tampang memelas
dan merayu.
Orang yang dipanggil ‘mas’ tadi
heran.
“Apa? Komik? Bukannya masih ada
di dalam?”
“Tapi yng sama dengan dengan
yang mas bawa sudah gak ada.” Membuat cowok itu tembah heran.
“Ayolah Mas! Tolong, hanya
tinggal ini saja mas yang ada!” memohon sambil menangkupkan kedua tangannya.
Cowok itu malah tersenyum melihat gadis di depannya memohon-mohon.
“Maaf dik, aku tak bisa bantu.
Soalnya buku ini mau aku berikan pada adikku!” jawabnya setelah senyum. Lalu
pergi menuju motornya.
Masih dilihatnya cowok itu.
Apalagi tas di bawanya dengan tatapan tak rela. Rara ingin sekali mengambil
buku di tas itu. Lalu, “Loh, bukannya motor itu motor yang dulu?”
mengingat-ingat. “Tapi pabrik tiakd buat Cuma satu kan?” tepisnya kemudian.
Dengan tangan hampa Rara menuju
ke tempat Iza menunggu. Pupus sudah keinginannya sudah di depan mata disambar
orang duluan. Betapa kesal dan kecewanya perasaan Rara.
“Ra, gimana? Dapat?” tanya Iza.
“Dapat apa? Aku sudah
mohon-mohon tapi dia tidak kasihan padaku!” jawabnya lesu. Lalu akhirnya mereka
pulang.
Rara tak haya larut dalam
kekecewaan yang lalu biarlah berlalu. Kini dia bersemangat lagi, yang lalu
dilepaskannya. Sekarang Rara harus bersabar lagi untuk menunggu terbitnya buku
itu.
Dia berangkat ke sekolah dengan
ceria. Semangat baru untuk hari baru.
Tak disangka, ternyata hari ini
pulang lebih awal. Belum ada setetes keringat pun yang menetes sudah
dipulangkan. Jadi Rara pulang lebih awal dan juga akan lama berada di rumah.
Ketika hampir tiba di rumah,
Rara melihat oarng yang yang tak asing. Laju sepda Rara perlahan melambat.
Orang itu mengenakan perlengkapan berkendara lengkap. Mulai dari helm, jaket,
sarung tangan, bersepatu dan membawa tas. Dan dia melihat kehadiran Rara.
Rara menambah kecepatannya
begitu melintas di depannya. “Sepertinya pernah lihat!” batin Rara. “Oh, yang
waktu itu! Depan toko!” Rara menambah kecepatannya lagi.
Orang itu masih memperhatikan
Rara. Saat ada orang melintas, segera di hentikannya.
“Maaf, Pak! Permisi. Saya mau
tanya.” Katanya setelah membuka helm.
Setelah mendapatkan jawabannya
dikenakannya lagi helm dan mulai mengendarai motornya. Cowok itu berhenti tepat
di depan rumah Rara. Rara yang mengetahui kedatangannya langsung lari masuk
rumah dan bergidik.
Di dalam rumah, ibu Rara
mendengar kedatangan Rara dan menghampirinya.
“Ada apa sih? Pake lari-lari
segala!” tanya ibunya lembut.
“Itu, Bu ada orang misterius.
Takut aku!” bergidik.
“Ada-ada saja kamu, Ra!” ibunya
menggeleng dan tersenyum. Rara lari menuju kamarnya.
Terdengar seseorang telah
membunyikan bel. Dengan segera ibu Rara membukakan pintu. Dari dalam kamar Rara
mendengar ibunya tertawa dengan seseorang. Rara merasa terusik dan memutuskan
untuk keluar.
Rara berjalan dengan penaaran.
Sampai segitunya ibunya tertawa.
Betapa terkejutnya Rara melihat
seorang cowok tak asing sedang berbicara dengan ibunya.
“Iya, bener. Dia orang di toko
itu! Orang yang telah mengambil buku komikku!” batin Rara.
Ibu Rara menyadari kehadiran
Rara menyuruh Rara duduk di sampingnya. Rar amasih heran dengan inu semua.
Cowok itu pun sepertinya tidak terkejut dengan kehadiran Rara. Malah tersenyum
terus, tebar pesona. Lalu.
“Ra, kamu masih ingat gak
dengan dia?” tanya ibunya. Menunjuk cowok itu.
“Siapa, Bu? Dia?!” masih
bingung.
“Hei, Ra! Masa kamu lupa
denganku?” kata cowok itu sok akrab.
“Mana mungkin kulupa! Kakak
yang merebut bukuku kan?!” teriak Rara.
“Rara, apa maksudmu?” ibunya
ganti tak mengerti. Cowok itu malah tertawa menambah jengkel hati Rara.
Lalu cowok itu mendekati Rara.
“Hei, mau apa?” teriaknya
waspada.
Ibu Rara hanya tersenyum geli
melihat tingkah anaknya. Cowok itu duduk di samping Rara. Rara tak mau pergi
karena yang seharusnya pergi itu cowok itu bukannya Rara. Di tersenyum melihat
tingkah Rara lalu mengambil sesuatu dari tasnya.
Mengelurkan sebuah kotak yang
tidak terlalu tebal mirip sebuah buku. Dibungkus rapi dengan kertas kado
berwarna ungu lalu diberikan pada Rara.
“Ini, bukalah!” katanya
diiringi senyum.
Rara masih kesal dengan dia dan
memutuskan untuk membuka. Matanya langsung bersinar melihat isinya.
“Bukuku! In bukuku!” teriaknya
dalam hati senang. Tersenyum manis akhirnya bukunya kembali ke genggamannya.
“Terima kasih kak!” ucapnya
senang.
Cowok itu lalu mengacak-acak
rambut Rara dan tersenyum.
“Lalu nama kakak siapa?”
tanyanya.
“Yaelah. Belum tahu namaku?!”
kecewa cowok itu. “Aduh gimana sih adikku ini!” merasa kesal.
“Rara, dia itu kakak sepupumu.
Kak Udin.” Sambung ibunya.
“YA ampun! Kakak toh?” serunya
keras.
“Cepat sekali melupakanku!”
cemberutnya.
“Habisnya kakak sudah ebrubah.
Dulu kan banyak kacangnya di pipi!”
“Hah, kacang? Aduh-”
mengacak-acak rambut Rara lebih ganas.
Segera Rara merapikan rambutnya.
“Tapi sekarang lebih ganteng
kan?” katanya lagi.
“Ganteng sih ganteng tapi kalau
ngelihat orang seperti itu, yang ada malah lari semua!” selorohnya.
“Masa sih?”
“Oh iya. Kak udan Bu kemarin
lihat aku kayak mau nelan aku hidup-hidup!” cerita Rara ke ibunya. Dengan
sedikit melebih-lebihkan.
Udin dan ibunya hanya tertawa.
Suasana jadi rame.
“Aduh, sepupu dan komikku!”
batin Rara.
Jombang, 19 September 2020
(Cerita ini juga aku publish di blogku yang lain)