Pelayan Vampir
Part 1
Seperti
biasa aku pulang larut tapi entah kenapa malam ini udara terasa berbeda. Bahkan
di setiap langkahku seperti ada yang mengawasi. Aku diliputi rasa cemas dan hal
ini sangat mengganggu. Aku tidak biasa seperti ini tapi hari ini aku
benar-benar tidak bisa mengabaikannya. Ku putuskan untuk segera pulang.
Aku
terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja muncul seseorang di tikungan. Aku
sempat ragu namun ku putuskan untuk meneruskan langkah. Lalu, tiba-tiba saja
ada yang menerjangku dan ketika aku membuka mata, aku sudah berada di tempat yang
berbeda.
Aku bangun
dan melihat ke sekeliling. Hari sangat gelap jadi aku tidak bisa melihat banyak
tapi, aku sangat yakin kalau sekarang aku... berada di atap sebuah gedung.
“Apa?!
Dimana ini!?” ucapku begitu menemukan pemikiran ini. Di bawa oleh angin aku
mendengar tawa seseorang. “Siapa itu?” Namun aku tidak menemukan apapun.
“Aku akan
bermain-main sebentar denganmu sebelum menuju ke acara puncak.”
Aku pun
terkesiap dan mencari ke sumber suara.
Aku melihat
siluet seseorang dalam kegelapan. Ia tak bergerak selama beberapa saat tapi aku
sesekali mendengar desah nafasnya yang berat. Tak lama kemudian ia bergerak dan
melangkah mendekat. Sinar redup bulan memperlihatkan wajahnya.
“Jangan
terlalu lama, Oke!” sahut yang lain.
Aku
kebingungan dan mencari sumber suara yang lain itu. “Apa yang...” ucapanku
terpotong karena terkejut. Dalam sedetik ia sudah berada di depanku dan ia
berusaha untuk mencekikku.
“Apa yang
kau lakukan?” tanyaku di sela nafasku. Ia menyeringai. Aku melihat matanya
berkilat meski wajahnya tidak jelas.
“Aku ingin
memberikan mereka hadiah kecil karena telah melakukan hal itu padaku. Mereka sudah
mengambil milikku yang berharga maka mereka pun demikian.”
Aku
berusaha untuk melepaskan tangannya tapi ia terlalu kuat. Tangannya memegang
leherku dengan sangat erat tapi aku masih bisa bernafas sejauh ini. Namun semakin
lama cengkramannya bertambah erat dan hal itu membuatku panik serta kesulitan
bernafas. Tangannya juga terasa dingin dan keras.
“Arg..”
Seringainya
berubah menjadi tawa dan tiba-tiba saja tubuhku melayang dan menghantam lantai.
“Aw...”
keluhku sambil berusaha bangkit.
“Sangat
bagus.” Komentar seseorang yang tak terlihat.
“Aku belum
menunjukkan pertunjukkan yang lain.” sahut orang itu meremehkan.
“Baiklah.
Terserah kau saja. Tapi, jangan sampai kelewatan karena nanti kita tidak akan
mendapatkan apa-apa.” Suaranya dingin.
“Hemmm...
Kau melihat saja.”
Aku
berusaha bangkit sambil memprotes. “Apa yang telah kau lakukan?” protesku di
sela batuk. Tubuhku jadi terasa sakit karena itu.
Aku belum
sempat berdiri dan ia sudah berada di depanku lagi dan merenggutku. Tak lama
kemudian ia kembali melemparkanku hingga beberapa kali. Tubuhku terasa nyeri di
beberapa bagian dan aku bisa mendengar suara patah di dalam tubuhku ketika aku
membentur dinding.
“Apa kau
menikmatinya?” gumamnya di dekatku. Aku berusaha untuk duduk dan tubuhku jadi
terasa lebih sakit.
“Kau...
apa-apaan? APA YANG KAU LAKUKAN?” teriakku marah. Dan karena ini tubuhku jadi
terasa lebih sakit lagi. “Uhuk, uhuk.” Aku terbatuk.
Aku
mendengar tawanya dan ia sudah mendekat. “Kau kesal?” tanyanya tanpa rasa
bersalah.
“Aku tidak
tahu kenapa kau melakukan ini padaku. Kau...” kalimatku terhenti karena
tiba-tiba saja ia sudah berada sangat dekat denganku sehingga aku bisa mencium
aroma.. aneh. Aromanya lumayan menyenangkan meski aneh. Namun seringai maupun
ekspresinya terlihat menakutkan.
“Kau memang
tidak salah apa-apa tapi... gara-gara pendahulumu maka kau harus
bertanggungjawab.”
Aku belum
sempat menyahut dan ia sudah lebih dahulu melempar tubuhku ke atas dan
tiba-tiba saja ia mendorongku ke bawah tanpa melepaskan telapak tangannya dari
dadaku.
Aku
membentur lantai keras dan sama sekali tak bergerak di tempat karena tekanan
telapak tangannya. Sekali lagi aku mendengar suara patah di tubuhku dan aku
terbatuk. Cairan hangat terasa mengalir di bibirku.
Ia
menyeringai.
“Kau
berdarah.” Ucapnya senang. Ia tertawa melihatku.
“Darahnya
keluar banyak. Sayang sekali terbuang sia-sia.” Orang yang tak terlihat itu
mengatakan tidak setuju.
Tubuhku
terasa remuk. Aku tidak bisa bergerak dan sakit. Bahkan dadaku terasa ada yang
menindihnya berat. Itu benar, tangannya.
“Jangan
mati dulu, Ok? Nanti tidak akan jadi menyenangkan.”
Aku
terkesiap dan ia sekali lagi melemparkanku ke dinding dan cairan hangat lain
mengalir di lengan dan kaki kananku.
Aku
berusaha untuk duduk tapi tubuhku terasa luar biasa sakit. Aku meraba-raba apa
yang mengganjal lenganku dan mencabutnya. Setelah tercabut terasa lebih baik
meski perih dan darah mengalir. Aku sempat terkejut melihat darah tapi aku
lebih merasa terganggu dengan rasa mengganjal lain yang ada di kaki. Aku pun
setengah bangkit dan menarik keluar pecahan kaca yang menembus pahaku dengan
tangan bergetar.
“Aw...”
rintihku. Ini terlalu tiba-tiba, kataku dalam hati. Apa aku sedang bermimpi?
Pertanyaanku
belum terjawab tapi ia sudah kembali dan berdiri menjulang di depanku. Ia
menyeringai dan dengan cepat sudah menunduk dan menekan kakiku.
“Apa itu
menyenangkan?” tanyanya.
“Apa yang...
auh...” teriakku tak tertahan. Aku merintih dan berteriak kesakitan karena ia
menekan kuat pada lukaku.
Ia
menyeringai dan menatapku tajam sementara aku merintih kesakitan dan tak lama
kemudian aku mendengar suara. Klak. Tulangku patah lagi.
“Aaa.....” teriakku.
Nafasku tersengal dan sakit. Rasanya aku sudah mau mati.
“Kau sudah
pincang.” Oloknya. “Sekarang yang satunya!”
Aku
terkesiap namun tiba-tiba saja seseorang datang menghentikannya.
“Kau
bersenang-senang sendiri?” tuduhnya.
Ia
tersenyum dan menyahut. “Aku baru akan memulainya.”
“Kalau
begitu, jangan di tunda lagi.” Sahut yang lain.
Tiba-tiba
saja, seorang sudah berada di sisi kiri ku sementara ia berada di sisi kananku.
Aku belum mencerna kejadiannya dan tiba-tiba saja ada yang menusuk kulit
lenganku dengan tajam dan aku tersentak. Tak berselang lama, lenganku yang kiri
juga demikian. Aku terkejut dan nafasku jadi semakin sakit. Aku pun menggeliat
kesakitan.
Aku
berusaha untuk melihat apa yang sedang terjadi tapi ini membingungkan. Pandanganku
kabur namun suara desiran di kedua lenganku terasa sangat nyata dan nafasku
semakin lama semakin tak menentu. Aku tidak lagi merasakan sakit di tubuh atau
kakiku akan tetapi aku terfokus pada kedua lenganku. Tubuhku menggeliat tanpa
bisa ku cegah. Pandanganku pun sebentar jelas sebentar buram.
Aku tidak
tahu waktu berlalu berapa lama ketika aku samar-samar melihat wajah itu. Wajah terkejut
dan... ngeri. Tidak menakutkan seperti yang tadi. Ia sepertinya orang yang
berbeda.
“Oh, tidak.
Ia kehilangan banyak darah.” Ucap sebuah suara tapi aku masih terfokus pada
wajah itu yang juga sedang menatapku. Suasananya tenang namun ada sebuah suara
monoton yang terus-terusan mengganggu. Tak lama kemudian baru kusadari bahwa
itu adalah suara nafasku sendiri.
Aku
menatapnya dengan ketenangan yang sangat mengherankan meski desahan nafasku
keras terdengar hingga tiba-tiba saja sebuah suara mengejutkanku.
“Arg...”
tubuhku terasa bergetar hebat dan panas terbakar.
“Oh, tidak.
Kita harus segera menyelamatkannya. Tulang rusuknya juga patah.” Sambung suara
tak kasat mata itu lagi.
“Oh...”
teriak suara itu lebih keras dan tubuhku bergetar lebih keras lagi.
“Kevin, aku
melihatnya.” Ucap wajah itu tanpa mengalihkan pandangannya dariku. “Ia...
semakin mendekat.”
“Apa?”
sahut orang yang bernama Kevin. Aku tidak melihatnya hanya suaranya terdengar
sama. “Bagaimana bisa?”
“Arg.” Dan
ternyata itu adalah suaraku sendiri. “Pa...nas.... Arg...” aku menggeliat di
bawah tekanannya.
“Kevin!”
teriaknya ngeri. Ia sedikit pun tidak memalingkan pandangannya dariku.
“Jangan
hanya diam, cepat lakukan sesuatu!”
Aku masih menatapnya
dan ia bergeming.
“Kita harus
mencegah perubahannya. Itu perjanjiannya. Ada dua luka. Cepat lakukan!”
“Tidak! Darahnya
begitu manis.” Suaranya cemas. Ia membentuk garis keras di wajahnya.
Pandanganku semakin lama semakin mengabur.
“Kita tidak
bisa menunda lagi.” Desak yang pertama.
“Bagaimana
jika aku tidak bisa berhenti?” cemas.
“Kau bisa. Cepat!
Aku akan melakukan pada yang satunya.”
Dan
tiba-tiba aliran di lenganku kembali terjadi dan tidak lama kemudian yang kanan
menyusul.
Rasanya
membingungkan namun suara dengung di telinga sangat jelas terdengar. Selain
itu, kepalaku juga terasa berdenyut, seperti ditusuk. Nafasku terasa lebih
ringan meski dadaku tetap terasa sakit setiap kali udara mengalir masuk ke
dalam jantung. Dan sebelum pandanganku benar-benar buram aku sempat melihat
pandangan bersalah seseorang dengan warna merah di bibirnya.
Part 2
Aku
bermimpi aneh. Bermacam-macam kejadian dalam satu waktu. Dan yang lebih
mengherankan lagi adalah aku memimpikan kastil-kastil dengan wajah-wajah pucat
dan kebudayaan kunonya. Aku bahkan melihat eyang buyutku di sana diantara
wajah-wajah asing itu.
Aku bersama
ayahku dikenalkan pada beberapa di antara orang berwajah pucat itu. Namun ada
satu orang yang menolak dan bersikap angkuh. Ia bahkan tidak menuruti orang
yang lebih tua dan mirip ayahnya itu. Namun eyang buyutku hanya tersenyum dan
ayahku menarikku mendekat. Meski begitu aku merasa penasaran dengannya dan
menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu hingga ia mau menengok dan melihat
padaku.
Ku pikir
aku akan baik-baik saja ketika melihatnya namun yang terjadi justru sebaliknya.
Aku malah melihat wajah penuh penyesalan. Ia memandangku dengan rasa bersalah
yang tidak ku mengerti.
Aku
tersentak dan seketika mataku terbuka.
Aku
menghela nafas keras dan mencoba mengusir rasa serak di tenggorakan namun yang
terjadi malah dadaku terasa sakit. Aku melihat ke sekitar dan terkejut
mendapati keberadaanku. Bahkan selang mengular dari hidungku. Aku melihat ke
sekeliling dan menemukan seseorang bersandar di dekat cendela. Ia sedang
melihat keluar cendela.
Aku
melihatnya selama beberapa saat dan ia masih tak bergerak. Aku pun memutuskan
untuk bangun namun...
“Jangan
bangun dulu jika...” aku mendengarnya berbicara namun terlambat dan aku sudah
kesakitan.
Aku
menghirup nafas banyak-banyak untuk mentolerir rasa sakitku. “Aw...” gumamku.
Aku bergerak lebih pelan lagi dan kembali berbaring. Ku perhatikan ia masih di
sana.
“Aku di
sini hanya sampai kakekmu datang.” Jawabnya atas pertanyaan yang belum ku
lontarkan. Aku bahkan baru memikirkan pertanyaannya sekarang.
“E...
Kenapa...” aku tak tahu harus memulai pertanyaan darimana tapi dia benar-benar
tidak ku kenal. Suaraku terdengar aneh lagi, pikirku terganggu. Mengabaikan
soal itu aku kembali bersuara setelah membersihkan tenggorokanku. “Bagaimana
kau bisa berada di sini? Apa yang terjadi pada... Oh!” aku teringat kejadian kemarin.
“Apa be... tidak mungkin.” Pikirku menolak. Karena mengatakan ini tenggorokanku
jadi terasa semakin sakit. Seharusnya aku tidak berbicara keras-keras terlebih
dahulu, kataku mengingatkan. Tapi, aku tidak mungkin mengabaikan kecurigaanku
pada orang asing di ruanganku.
“Sebaiknya
kau menanyakannya pada kakekmu sendiri. Aku sama sekali tidak berniat untuk
menjawab pertanyaanmu.” Jawabnya cuek sambil menengok padaku. Ekspresi wajahnya
benar-benar menjengkelkan.
“Apa?”
sahutku tak percaya. Aku mulai terbiasa dengan rasa tidak nyaman ketika
berbicara.
“Mereka
sudah tiba.” Katanya sambil memandang ke pintu. Aku melihat bahwa ia seolah
mengetahui apa yang ada di balik pintu.
Apa-apaan
dia, kataku dalam hati.
Dan benar,
tak lama kemudian pintu terbuka dan kakekku muncul bersama... Tunggu dulu,
kataku dalam hati. Aku pun menengok pada orang itu lagi dan ia membalas
tatapanku tanpa minat. Ia malah dengan terang-terangan menunjukkan wajah
menjengkelkannya. Tapi entah kenapa aku merasa familiar dengan wajahnya. Aku
tidak ingat pernah melihatnya dimana. Orang yang datang bersama kakek juga
terlihat tak asing bagiku.
“Karina kau
sudah bangun?” tanya kakek.
Aku hanya
memandangnya hingga ia berada di dekatku. “Kakek?!” ucapku yang lebih ke tujuan
menegur.
Orang itu
menempati tempat di sisi laki-laki tadi.
“Syukurlah
kau baik-baik saja.” Sambung kakek.
“Apa?
Baik-baik saja?” aku yakin sekali kalau ucapanku ini akan menyinggungnya tapi
aku benar-benar tersinggung dengan pertanyaan kakek. Padahal jelas-jelas aku
tidak baik-baik saja dan sedang di rawat di rumah sakit dengan peralatan-peralatannya
di tubuhku. Akan tetapi kakek malah tertawa mendengar pertanyaanku.
“Sepertinya
ia sudah lebih baik. Tidak perlu khawatir.” Katanya pada kedua orang itu. Yang baru
datang itu tersenyum membalas ucapan kakek dan juga terseyum padaku sementara
laki-laki itu terlihat sombong dan sinis. Aku benar-benar kesal padanya meski
baru melihatnya sekali.
“Kakek, kau
berhutang jawaban padaku.” Tuntutku.
“Ya, aku
tahu. Ku pikir sekarang juga sudah waktunya tapi sebaiknya kita tunggu sampai
kau keluar dari rumah sakit.” Kakek menunjukkan senyum yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Tidak.” Sahutku
keukeuh. “Katakan padaku, siapa dua orang itu? Kenapa mereka berada disini? Terlebih
kakek membiarkan orang itu berada di ruanganku ketika aku tidur.” Protesku. Aku
memandang laki-laki itu dengan pandangan permusuhan.
Kakek
sempat tergagap tapi ia sekali lagi tertawa. “Oh, ya. Sebaiknya kita tidak
perlu menunda perkenalan.” Gumamnya. “Karina, kenalkan dia Kevin, kau bisa
memanggilnya paman. Dia adalah paman jauhmu.” Kata kakek pada orang yang datang
bersamanya.
“Hai,
Karina. Senang bertemu denganmu.” Sapanya.
Aku hanya
memandangnya dalam diam. “Aku tidak tahu kalau aku punya paman.” Kataku
kemudian sambil mengarahkan pandanganku pada kakek. Jelas ia harus memberikan
penjelasan panjang lebar padaku setelah ini.
“Ya, dia
baru datang dari jauh.”
“Bagaimana
dia bisa menjadi pamanku?” tanyaku seraya menarik pandanganku kembali. Aku
melihat wajah kakek mengeras, mungkin marah karena pertanyaanku itu tapi aku
sama sekali tidak menemukan hal yang serupa pada ‘pamanku’, Kevin. Tapi, orang
yang satunya, benar-benar... tidak peduli. Wajahnya saja terlihat bosan.
“Yah,
ceritanya panjang. Kalau paman, berarti dia keluarga kita ‘kan?”
Aku terdiam
sejenak dan mengangguk. “Lalu, dia siapa?” aku mamandang ke laki-laki itu.
“Nah, dia
adalah keponakan Kevin. Namanya Dimas.”
Aku hanya
memandangnya selama beberapa waktu lalu kembali pada kakek. “Kakek, jelaskan
padaku kenapa aku bisa berada di sini?” kataku mengganti topik.
“Bukankah
kakek sudah bilang tadi kalau kita akan menunggu sampai kau keluar?” kakek
mengingatkan.
“Kakek, aku
perlu tahu apa yang terjadi padaku. Kenapa...” ingatanku kembali ke malam itu. Dan
tiba-tiba saja aku terkesiap dan merasa nyeri di lengan dan kakiku.
“Ada apa?”
kakek mendekatiku. Ia menatapku cemas.
“Kakek,
kenapa mereka menggigitku?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku bisa merasakan
keterjutan kakek dan juga Kevin. Namun orang yang bernama Dimas itu sama sekali
tak terpengaruh dan bersikap terlalu normal di banding yang seharusnya. Aku
juga yakin dengan apa yang kurasakan meski tidak melihatnya secara langsung,
bahwa aku telah digigit.
Kakek ragu
dan ia memandang sekilas pada Kevin. Aku jadi tambah curiga kalau ada yang
disembunyikan oleh kakek dariku.
Tak
disangka, Dimas melangkah mendekati Kevin dan menggumamkan sesuatu. Aku tidak
bisa mendengar suaranya tapi aku yakin kalau ia telah mengatakan sesuatu pada
Kevin karena setelah itu ia berbicara pada kakekku.
“Sepertinya
kita tidak bisa menundanya lagi. Kami akan menunggu di luar.” Katanya pada
kakek.
Aku melihat
kepergian mereka dengan kening berkerut. Aku berusaha untuk bangun tapi rasa
sakit menghentikanku. Akhirnya aku pasrah dengan tetap berbaring. Setelah kedua
orang itu pergi kakek duduk di bangku samping dan menatapku penuh rahasia.
“Apa yang
kakek sembunyikan dariku?” tanyaku menyelidik.
“Kau
sepertinya tahu kalau ada sesuatu.” Tebak kakek.
“Ya. Tapi aku
tidak tahu itu apa. Kakek, apa yang terjadi semalam... Apa sekarang aku sedang
bermimpi?” tanyaku kemudian. Aku rasa kejadian kemarin lebih tepat jika disebut
mimpi buruk tapi entah kenapa ketika terbangun aku malah beneran di rumah
sakit. Bagaimana kejadian itu bisa terjadi, pikirku tak percaya.
“Itu bukan
mimpi dan sekarang juga bukan. Maafkan kakek karena baru memberitahumu
sekarang.”
“Meminta
maaf?” keningku berkerut. “Memangnya apa yang terjadi kakek? Kenapa kakek
meminta maaf? Kenapa juga tiba-tiba kakek memperkenalkanku dengan paman itu dan
keponakannya setelah sekian lama? Ia bahkan tidak terlihat mirip dengan
paman-paman yang lain. Terutama yang bernama Dimas itu, dia terlihat
menyebalkan.” Jelasku kesal.
Kakek
terdiam sebentar.
“Karina,
apa yang akan kakek ceritakan ini adalah cerita yang diceritakan juga oleh
kakeknya kakek. Ini adalah cerita keluarga kita. Rahasia kita. Cerita ini akan
terus di ceritakan ke generasi-generasi selanjutnya dan begitu pun nanti, kau
juga akan menceritakannya pada generasi penerusmu. Dengan kata lain cerita ini
diceritakan turun temurun di keluarga kita.”
“Apa sih
maksud kakek? Kakek kenapa tiba-tiba membahas tentang kakek buyut?” aku menatapnya
tak mengerti. Setelah beberapa waktu aku pun teringat dengan mimpiku beberapa
waktu yang lalu. “Oh, aku bermimpi bertemu dengan kakek buyut.” Akuku akhirnya.
“Benarkah?”
senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Ya.” Aku berusaha
mengingat-ingat kejadiannya. Aku pun heran melihat ekspresi kakek yang sama
sekali tidak terkejut. Apa ini hanya kebetulan? “Dan, beberapa... OH!” ucapku
terkejut. “Mereka, mereka ada di dalam mimpiku juga.” Teriakku heran. Aku
memandang kakek meminta penjelasan.
“Mereka...
siapa?” tanya kakek hati-hati.
Aku menatap
kakek tajam. Selagi membaca ekspresi kakek aku pun berusaha untuk mengingat
mimpiku lebih lengkap lagi. “Ah, benar. Dua orang tadi yang kakek kenalkan
sebagai pamanku dan keponakannya.” Keningku berkerut ketika mengatakan ini. Aku
tahu ini tidak masuk akal. Apakah ini juga kebetulan?
“Hmm,
baiklah. Sepertinya kau sudah tahu lebih dahulu.” Gumam kakek. Aku memandangnya
tak mengerti.
“Ada satu
makhluk di sekitar kita yang keberadaannya ada namun tidak banyak yang tahu. Ia
ada tapi keberadaannya tidak diketahui. Hanya orang tertentu saja yang
mengetahuinya. Keberadaannya memang di sembunyikan, sengaja bersembunyi dan
berada di balik bayangan. Mereka berjalan di balik kegelapan namun ada beberapa
yang bisa di bawah cahaya dan beberapa itu memilih gaya hidup berbeda di
banding yang lain. mereka lebih terkendali dan bisa hidup berdampingan dengan
manusia tanpa tergoda untuk menyakiti atau mengganggu manusia.”
“Apa yang
ingin kakek katakan?” aku memandangnya kesal. Semakin lama ucapannya semakin
tidak masuk akal.
“Selain
itu, mereka juga memilih untuk menghentikan jenisnya yang tak terkendali dan
membuat keributan. Seperti polisi tapi ini lebih permanen.”
“Kakek mau
mendongengiku?” ucapku kesal.
“Suatu
hari, pada suatu daerah mereka tanpa sengaja bertemu dengan seorang manusia
yang berbeda dengan yang lain dan yang juga memiliki misi yang sama. Mereka
sempat bersitegang namun setelah saling mengutarakan maksud akhirnya mereka
bersepakat untuk melakukannya bersama-sama. Namun, dalam ikatan itu harus ada
proses memberi dan menerima. Mereka tahu bahwa manusia yang di temuinya itu
berbeda di bandingkan yang lain dan keberadaan mereka adalah cobaan yang besar
bagi mereka.
“Mereka
sempat cemas jika terus-terusan berada di dekatnya, pada suatu hari nanti
mereka tidak akan mampu menahan godaan dan malah menyerangnya. Namun, ternyata
hal itu tidak pernah terjadi. Kedua makhluk itu pun dapat bekerja sama dengan
baik dan keberadaan yang satu dengan yang lain bisa saling melengkapi dan
kekuatan mereka tak tertandingi.”
“Lalu, apa
hubungan cerita kakek dengan yang terjadi padaku?” tanyaku tak sabar.
“Mereka itu
adalah makhluk mitos. Itu mitos karena tidak ada yang mengetahuinya tapi,
mereka benar-benar ada dan berada di sekitar kita. Memang tidak banyak tapi
mereka sangat kuat dan tak bisa di lawan hanya dengan senjata biasa.”
“Kakek?”
suaraku menegur karena sedari tadi kakek mengabaikan pertanyaanku.
Dan setelah
lama kakek terdiam akhirnya aku mendengar jawabannya. “Mereka itu adalah
vampir.”
“APA?”
sahutku cepat. Aku berkedip cepat dan menunggu kelanjutannya namun kakek malah
diam dan menunggu responku. “Kakek, kakek mau mendongengiku tentang vampir? Ya,
ampun. Aku bukan anak kecil lagi kakek jangan membohongiku tentang cerita itu
lagi.” Aku ingat dulu kakek sering menceritakan kisah tentang manusia penghisap
darah dan aku tidak percaya ketika aku sudah dewasa ia masih melakukannya.
“Mereka lah
yang menyerangmu malam itu.”
“Apa?”
sahutku tak kalah cepat.
“Mereka
cepat, bertubuh kuat, dan mampu melakukan apapun dengan mudah. Mereka bisa
dengan mudah mematahkan tubuhmu,” aku jadi mendengar suara tulang patah,
“melempar,” aku membentur dinding, “dan menghisap darahmu.” Aku ingat betapa
kuat mereka mencengkram kedua lenganku dan tak lama kemudian sesuatu merayap
dengan cepat di sana. Cepat-cepat aku pun menepis ingatan malam itu.
“Jadi,
mereka yang melakukannya?” aku melongo, terkejut bukan main. Jujur, aku masih
tak percaya.
“Bukan
mereka yang berada di luar tapi mereka yang lain. Mereka mencoba balas dendam
dan darah keluarga kita memiliki keistimewaan di banding yang lain.” Kakek
mencoba menjelaskan.
Aku
berkedip cepat. “Kenapa itu jadi masalah? Kenapa aku harus mengalami itu? Kenapa
juga kakek mengarang cerita tidak masuk akal seperti ini?” suaraku agak
meninggi. Sejujurnya aku lebih kesal dengan cerita tidak masuk akal kakek
daripada kenyataan bahwa aku diserang, entah oleh makhluk apa. Namun yang
pasti, aku melihat mereka adalah manusia.
“Kakek
mengerti jika kau terkejut dan sulit menerima tapi cepat atau lambat kau pasti
akan mamahaminya. Ini sudah terjadi secara turun temurun di keluarga kita
jadi...”
“Aku hampir
mati loh, Kek. Jelas-jelas ada yang berusaha untuk membunuhku tapi kakek malah
mendongeng.”
“Karina,
kakek mengatakan yang sebenarnya. Mereka benar-benar ada dan mereka mengintai
kita. Mereka ada di sekitar kita. Maafkan kakek karena kejadian ini terjadi
padamu. Kakek pikir hal ini tidak akan pernah terjadi namun ternyata, mereka
lebih nekat dari yang kakek sangka.”
Aku tidak
bisa berkata apa-apa lagi dan hanya memandang tak percaya pada kakek. Apa sih
yang coba ia sampaikan? Kenapa ia mesti menceritakan hal itu padaku?
Part 3
Aku kesal
karena tidak bisa kemana-mana dan sejak dua hari ini aku hanya bisa berbaring.
Tapi sekarang aku sudah bisa duduk jadi aku merasa lebih baik. Selain itu, aku
juga kesal karena orang itu ‘ditinggal’ disini. Ia sangat tidak ramah dan itu
mengganggu. Dia juga terlihat tidak senang, begitu pun aku, tapi ia masih saja
tetap tinggal.
“Untuk
berjaga-jaga Dimas akan tetap disini!” kata kakekku beberapa waktu yang lalu. Dan
hingga kini aku masih kesal karena ia benar-benar melakukannya.
Mengikutinya,
aku pun dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaanku atas keberadaannya
di sini, dengan pandanganku. Aku terus memandangnya jengkel tapi ia sama sekali
tidak terpengaruh. Ia bahkan sama sekali mengacuhkanku. Kami persis seperti dua
orang asing, dan memang demikian. Tidak ada kontak apa-apa, yang ada hanya
sepi. Aku bahkan masih belum percaya kalau ia adalah... vampir. Yang benar
saja?
“Hei!”
panggilku. Ia tak merespon dan tetap membelakangiku tapi aku yakin kalau ia
mendengar suaraku. Jadi, aku pun melanjutkan. “Kau benar-benar seperti yang
dikatakan oleh kakek?” tanyaku aneh. Setelah beberapa waktu ia akhirnya
berbalik dan memandang padaku, untuk yang pertama kalinya. “Kau benar-benar
seorang vampir?” tegasku karena ia masih diam.
“Jawaban
apa yang kau inginkan?” tanyanya balik. Ia menatapku dengan pandangan tak
terbaca. Pandangannya tidak sepenuhnya fokus padaku.
Mendengar
‘jawabannya’, otomatis aku mengerutkan kening. Bukankah aku yang bertanya lebih
dahulu?
Aku
mendecak lidah sebelum mulai berbicara lagi. “Hmm, aku tidak tahu apa yang
kalian rencanakan, kakekku juga. Aku tak percaya kalian sampai memberikan
cerita yang tidak masuk akal padaku. Itu sangat... mustahil. Aku juga tidak
tahu apa keuntungannya tapi aku tidak bisa menerimanya. Jadi, anggap saja kalau
aku percaya.” jelasku.
Ia
memandangku beberapa saat. “Itulah dirimu. Tidak masalah kau tidak
memercayainya sekarang. Cepat atau lambat kau juga akan mengerti.” Katanya
persis seperti kakek.
Keningku
berkerut dalam. “Kenapa kepercayaanku seolah berarti banyak?” tanyaku
terganggu.
Ku kira ia
akan membalas pertanyaanku dengan lebih sengit tapi dengan santai ia malah
berkata, “terserahlah. Percuma saja jika ku jawab. Kau tidak akan percaya hanya
lewat ucapan bahkan dengan apa yang telah terjadi padamu. Tapi kau perlu
berhati-hati karena kami tidak berhasil menangkapnya. Setelah merasakan,” ia
berhenti sejenak, nampak menahan nafas dan ekspresinya berubah serius,
“darahmu, ia pasti akan segera kembali lagi. Cepat atau lambat.” Tiba-tiba saja
ia menatapku dengan tajam. “Darahmu... begitu... mengganggu. Sulit untuk
dilupakan.” Ia memandangku ngeri. Entah kenapa aku jadi teringat dengan wajah seseorang
yang ‘tidak kukenal’.
Aku mogok
bicara setelahnya. Bahkan setelah beberapa hari aku tidak mau berbicara apapun
dengannya. Dengan Kevin juga. Aku jadi lebih mewaspadainya karena sikap
ramahnya terlihat... dibuat-buat. Kalau saja ia bersikap seperti Dimas akan
lebih mudah bagiku untuk menunjukkan permusuhanku.
Cerita di
rumah sakit ternyata tak cukup mengejutkanku dan ternyata kakek juga ‘membawa’
kedua orang itu pulang ke rumah. Aku memandangnya tak percaya melihat
keberadaan mereka di rumah namun kakek sama sekali tak merasa harus menjelaskan
alasannya. Bahkan orang yang bernama Dimas itu, semakin terlihat menyebalkan lagi
karena sikap pura-puranya padahal aku tahu betul kalau ia juga tahu keberatanku.
“Kita akan
lebih berhati-hati. Kakek bisa merasakan bahwa mereka mengintai rumah kita.”
Kata kakek ketika aku berada di dekat cendela.
Aku masih
belum bisa berjalan dan hanya di kursi roda. Kakiku patah... parah sementara
lengan kiriku juga demikian. Tapi yang lebih menggangguku adalah bekas luka di
lengan kananku. Aku di rumah sakit sama sekali tidak ingat kalau disana ada luka,
pun sebelumnya ia bersih dari luka. Namun ketika berada di rumah aku melihat ada
dua bekas titik yang berdekatan dan jika ku amati lama maka aku akan merasa...
seolah melihat sesuatu.
Aku ingat
bahwa ada seseorang yang menghajarku tapi tidak mungkin itu ada hubungannya
dengan vampir. Kejadiannya begitu cepat jadi aku sendiri juga sulit untuk
menerimanya. Seiring waktu melihat perilaku Dimas juga membuatku jadi memaksa sedikit
demi sedikit memercayai cerita kakek. Aku tahu ini tidak masuk akal, bahkan
akal sehatku juga berkata begitu, tapi semakin hari ia jadi semakin terlihat
berbeda.
Kau lebih
hafal musuhmu daripada dirimu sendiri. Itulah ungkapan yang tepat untuk
menyebutku. Aku merasa sangat terganggu dan semenjak pertama ‘bertemu’ dengan
Dimas aku sudah merasa kesal. Karena itulah tanpa ku duga aku jadi
memperhatikannya dan akhirnya aku jadi tahu bahwa ia benar-benar berbeda
denganku. Dalam beberapa hal tepatnya. Aku sama sekali tak pernah melihatnya
makan. Bahkan ia tidak pernah hadir dalam meja makan. Aku juga tidak pernah
melihatnya minum atau makan apapun. Biasanya tamu di rumah disuguhi jamuan tapi
ia... sama sekali tidak. Kakek juga sama sekali tidak merasa bersalah.
Ini
benar-benar aneh.
“Apa kau
benar-benar vampir?” tanyaku pada Dimas suatu waktu.
Ia
menatapku kesal. Ini adalah yang ketiga kalinya aku bertanya dan ia tidak
pernah memberikan jawaban yang memuaskan.
“Kalau kau
tidak percaya, kenapa kau terus menanyakan hal yang sama?” tegurnya. Ia lalu
pergi meninggalkanku.
Seharusnya
aku yang bersikap begitu tapi kenapa dia, pikirku heran.
Aku di
rumah sendiri dan sama sekali belum bisa pergi kemana-mana. Sekarang lenganku
sudah lebih baik tapi aku belum boleh berjalan. Tanganku belum cukup kuat untuk
kujadikan tumpuan jadi aku masih tinggal di kursi roda. Tapi, jika hanya
berdiri sebentar untuk duduk dan bangkit sendiri dari kursi roda, aku bisa
melakukannya sendiri. Aku tidak tahu kemana perginya semua orang, kakek yang
terutama. Kenapa ia pergi tanpa mengatakan apapun? Aku pun keluar kamar untuk
mengatasi kebosanan.
Rumah
benar-benar sepi padahal biasanya juga hanya ada aku dan kakek tapi hari ini
rasa sepi itu jadi aneh. Aku merasa haus jadi aku mengarahkan kursi rodaku ke
dapur dan mengambil minuman dingin di kulkas. Lalu aku pun memutuskan untuk
kembali ke kamar karena tidak ada yang bisa ku lakukan. Di tengah jalan aku
terhenti karena melihat sebuah pintu terbuka.
Aku sama
sekali belum pernah masuk ke ruangan itu karena biasanya pintu itu selalu
tertutup dan kakek sama sekali tak pernah membiarkanku masuk hingga hari ini.
Dan karena kakek sedang tidak ada aku pun memutuskan untuk mendekatinya. Aku
penasaran dengan apa yang ada di dalamnya.
Aku sudah
berada di depan pintu dan ku intip di dalam gelap. Ku buka pintu lebih lebar
lagi dan masih belum ku temukan cahaya. Aku pun menggerakkan kursi rodaku dan
tiba-tiba saja ia meluncur tak terkendali. Aku terkejut dan tidak bisa
menghentikannya hingga ku sadari bahwa tubuhku melayang di udara.
“Ternyata
rasa penasaranmu juga bisa membunuhmu.” Gumam seseorang di belakang.
Aku
berusaha mencerna ucapan itu dan kini aku sepenuhnya mengerti apa yang
sebenarnya terjadi. Ia tidak hanya berada di belakangku tapi benar-benar tepat
di belakangku. Ia menggendongku. Aku hampir terjun entah ke apa dan untungnya
ia menyelamatkanku namun tidak dengan kursi rodaku. Aku tidak bisa menemukan
keberadaannya karena gelap. Tapi aku sempat mendengar suara berdebum. Aku juga
tidak bisa melihat wajahnya karena itu.
Akhirnya ia
pun membawaku keluar dari tempat gelap itu sehingga aku bisa melihat wajahnya.
“Bagaimana
kau bisa berada di sana?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku darinya.
Ia
menurunkanku di atas sofa. Tanpa sengaja tanganku bersentuhan dengan kulit tangannya.
“Dingin.” Gumamku. Ku lihat ekspresinya tetap datar.
“Tunggu
sebentar, aku akan mengambil kursi rodamu.” Katanya sambil berbalik.
“Tunggu!”
cegahku. Ia pun berbalik dan menatap padaku. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Aku mengingatkannya. “Bagaimana kau bisa berada di sana padahal kau tidak ada
di sini tadi?”
“Aku berada
di dekat sini.” Jawabnya pendek.
“Benarkah?”
tanyaku meragukan.
Ia membalas
tatapanku selama beberapa waktu. Dalam hati aku bersumpah kalau aku tidak akan
pernah bisa akrab dengannya.
Seiring berjalannya waktu, aku
semakin menuju ke kesembuhan. Aku bahkan sekarang sudah bisa berjalan sendiri
namun, orang itu, mereka masih tetap tinggal. Aku jadi penasaran, apa yang
mereka cari sebenarnya?
Hingga kini
aku masih belum akur dengan Dimas. Aku tidak akan pernah mau. Bagaimana mungkin
dia yang tidak pernah muncul tiba-tiba saja tinggal di rumah ku lama dan
mengaku sebagai pamanku, sebagai vampir? Apa pula hubungan vampir dengan
keluarga kami?
“Karina,
kakek kira inilah waktunya kau mengetahui kebenarannya.” Ucap kakek pada suatu
waktu.
“Kakek!
Kakek masih menyembunyikan sesuatu padaku? Kali ini apa lagi? Apakah sepupu
manusia serigala?” sahutku tak acuh.
Berbeda
dari dugaanku, justru wajah kakek berubah serius padahal aku ingin bercanda
dengannya. Aku jadi khawatir karenanya. Apakah itu benar?
Setelah terdiam
beberapa waktu akhirnya kakek menggeleng. Aku lega sekali mendengarnya. Akan
tetapi...
“Karina,
kakek ingin menyampaikan satu hal, satu hal yang merupakan muara dari semua
kejadian ini.”
“Kakek akan
mengejutkanku dengan cerita apa lagi? Apakah tidak cukup dengan kenyataan bahwa
kita tinggal seatap dengan dua makhluk penghisap darah?”
Kakek
menggeleng pelan. “Semua berawal dari cerita kakek buyut. Dia sudah diambang
maut dan kehadiran mereka membuat hidupnya berakhir lebih cepat. Itu yang
dipercayainya namun takdir berbicara lain. Kakek bertemu dengan vampir yang
berbeda. Bukannya menyelesaikan bagian mereka akan tetapi mereka malah
menyembuhkan kakek. Kakek terkejut, tak percaya bahwa ia yang berusaha untuk
memusnahkan vampir memperoleh pertolongan dari vampir juga.” Kakek berhenti
sejenak.
“Secara
turun temurun, tugas di wariskan ke anaknya, termasuk kakek hanya saja ketika
itu terjadi pada kakek ia malah mendapatkan teman dari golongan itu. Alhasil,
kakek buyut membuat kesepakatan dengan mereka untuk bersama-sama membasmi
vampir. Diawal memang kedengarannya tidak masuk akal tapi hal itu sudah
berlangsung hingga hingga kini.”
“Ma...
maksud kakek? Kakek...”
Kakek
menggangguk. “Ya, kakek juga mendapatkan warisan itu. Kakek menggantikan ayah
kakek untuk melayani mereka dan melakukan kewajiban kakek, membunuh vampir yang
lain.”
“A..pa?”
tanyaku tidak percaya.
“Keluarga
kita sudah terikat dengan mereka dan sekarang adalah... giliranmu.”
“APA?!”
sahutku keras. “Bagaiman mungkin? aku...”
Kakek
terdiam sambil menunduk. “Kakek tahu ini tidak biasa. Sebelumnya, pewaris di
pilih dari keturunan laki-laki akan tetapi sekarang, kau adalah cucu kakek
satu-satunya jadi.... Meski begitu kakek masih berharap kalau kau tidak...”
“Tentu saja
tidak!” sahutku cepat. “Aku tidak akan mau. Bagaimana mungkin aku mendapatkan
getahnya padahal itu sudah lama berlalu? Jika mereka memiliki janji bukankah
itu hanya berlaku pada pihak yang membuat perjanjian? Kenapa juga aku ikut?!”
tolakku keras.
“Kita tidak
bisa mengelak.” Jelas kakek. “Karena kejadian itu juga keluarga kita jadi
terlihat istimewa didunia mereka. Dalam tubuh kita, kita mengalir darah kakek
buyut yang terkontaminasi darah vampir.”
“Apa?”
“Karena
itulah mereka menyebut darah kita manis. Disisi lain, darah kita bisa
memberikan keistimewaan pada mereka karena itu, dimana pun kita berada mereka
akan dengan mudah menemukan kita.”
Bayangan
kejadian waktu itu pun segera memenuhi ingatanku.
Part 4
Semenjak
aku mendengar kebenaran dari kakek aku jadi semakin tidak menyukai mereka,
utamanya Dimas. Aku hampir setiap hari mengamati dan aku yakin dengan
pandaganku sendiri bahwa ia mengetahui dengan pasti ketidaksukaanku. Tapi entah
kenapa ia tidak pergi padahal aku sudah berkali-kali mengatakan padanya kalau
aku tidak akan mengikuti harapan kakekku, tepatnya kakek buyutku. Bagaimana
bisa dia menentukan masa depan anak cucunya sendiri tanpa memedulikan keinginan
mereka?
Aku tak
mengerti kenapa aku tidak bisa kesana. Uh, bukannya tak bisa tapi tak
dibolehkan. Aku pun jadi semakin tak mengerti kenapa aku terjebak disini
bersama Dimas.
“Aku harus
melihat kakek!” kataku untuk yang kesekian kali. Namun, Dimas kembali
menghalangiku untuk yang kesekian kalinya juga. “Minggir!” suaraku agak keras.
“Kau tidak
akan kemana-mana!” ucapnya datar.
“Kenapa
tidak?” sahutku ketus.
Aku pun
berusaha untuk menerobos ‘penjagaannya’. Aku mencemaskan kakek. Aku merasakan
sesuatu sedang terjadi padanya. Terlebih, ekspresinya terakhir kali...
membuatku tak bisa melupakannya. Aku yakin kalau ada yang disembunyikan
olehnya. Angin dingin yang berhembus juga membuatku jadi semakin khawatir. Aku
yakin dan aku tahu kalau kakek berada tak jauh di depanku meski aku tidak bisa
melihatnya. Tapi, perasaanku menyakini hal itu dan membuatku jadi gelisah. Aku
melihat ada yang aneh dengan kepergian kakek hari ini karena itu aku jadi tidak
tenang.
“Aku
diminta untuk menjauhkanmu dari bahaya.” Jawabnya datar.
“BAHAYA
APA?” teriakku. “Aku yakin di sana ada kakek, dia dalam bahaya. Aku harus
menyelamatkannya!”
Ia masih
menghalangi jalanku. Aku memandangnya marah tapi ekspresi wajahnya sama sekali
tidak berubah. Ia tetap dengan pendiriannya.
Aku mencoba
cara lain. Aku sudah sangat marah karena itu aku tidak peduli lagi dengan dia
yang menghalangi jalan sehingga dengan sengaja aku menabraknya.
“Aw...”
teriakku. Aku terpental dan jatuh ke belakang. Kepalaku terasa mau pecah
karenanya.
“Kau
baik-baik saja?” suaranya menyesal.
“Kau pikir
aku masih baik-baik saja setelah apa yang kau lakukan?” sahutku sengit.
Tubuhku
terasa sakit karena jatuh. Aku tak percaya kalau tubuhnya sekeras itu hingga
membuatku terpental dan kesakitan. Aku mendengus kesal karena ketidaknyamanan
ini. Sejenak aku melihatnya cemas tapi dengan cepat ia menepisnya. Ia tidak
pernah peduli bukan? Dia bahkan bukan manusia, kataku mengingatkan diri.
“Kau,
baik-baik saja? Aku tidak bermaksud...”
“Tentu
tidak baik.” Sahutku keras. “Dengan hanya disini tanpa melakukan apa-apa... Aku
harus melihat kakek. Aku harus menolongnya! Ia dalam bahaya!” bentakku. Aku
berdiri meski tubuhku masih terasa sakit.
“Aku harus
menjagamu tetap aman.”
“Bagaimana
dengan kakek? Aku baik-baik saja!” ia menghalangi langkahku lagi.
Aku
menatapnya kesal tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ini menjengkelkan dan ia
tidak melakukan apapun yang bisa membuatku merasa lebih baik. Satu-satunya yang
membuatku cemas adalah kakek karena itu aku ingin melihatnya dengan mataku
sendiri.
Aku
menerobos tapi dengan gesit ia sudah berdiri di depanku dan menghalangi
jalanku. “Minggir!” suaraku berat. Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi.
“Itu
keputusannya.” Suaranya menerawang. Aku pun otomatis mendongak dan menatap
padanya. “Ia memilih untuk melakukan ini jadi kau jangan menyia-nyiakan dirimu
sendiri!”
Aku
terperangah dan menatapnya tak percaya. Aku melongo melihatnya. Aku pun berusaha
untuk mengeluarkan suaraku tapi suaraku teredam dan lidahku kelu.
“Bagaimana
bisa kau berkata begitu?” sahutku. “KENAPA IA MESTI MELAKUKANNYA?” aku melotot
padanya. Aku takut membayangkan apa yang ada dipikiranku.
Dimas
terdiam. Aku menunggunya berbicara beberapa waktu tapi ia masih sama. “A...”
akan tetapi dia menyelaku.
“Dia melakukannya
untukmu!” entah kenapa sekarang aku merasakan adanya emosi diperkataannya.
Mataku
semakin lebar menatapnya.
“Apa...
yang... kau... bicarakan?” kataku terperangah. Aku menatapnya selama beberapa
waktu dan kami masih tak bergeming. Selang beberapa waktu kemudian aku
mendengar suara ledakan keras dan membuatku terkesiap. Udaranya menusuk kulit
dan kulihat tubuhnya menegang. Seketika pandanganku pun tertuju ke tempat kakek
berada.
Perasaan
aneh tiba-tiba mengisi keteganganku dan tanpa tahu penyebabnya aku jadi ingin
menangis. Detik itu juga aku yakin kalau sesuatu telah terjadi.
Aku melihat
ekspresi kosong Dimas. Aku tidak tahu kenapa tapi aku jadi semakin cemas
karenanya. Malahan takut.
“Apa yang
telah terjadi?” tanyaku. Ia tak menjawab sehingga aku pun mengulanginya lagi. “Apa
yang telah terjadi?” suaraku lebih tegas. Aku menarik bajunya, mengancam, meski
aku tahu itu sia-sia.
Ia terdiam
beberapa waktu sebelum menjawab pertanyaanku. “Sebaiknya kita pergi dari sini!”
putusnya tiba-tiba.
“Apa?”
sahutku tak percaya. “Katakan padaku, APA YANG TELAH TERJADI?” aku memberikan
penekanan pada setiap katanya.
“Aku harus
membawamu pergi dari sini!”
Aku
melihatnya bergerak sehingga otomatis aku pun mundur. Aku tahu bahwa ia
mengetahui sesuatu yang tidak ku ketahui. Ia pernah mengatakan tentang
kemampuannya jadi tidak mungkin ia tidak tahu apa yang telah terjadi disana. Aku
menatapnya dengan genangan air mata tapi sekuat tenaga aku menahannya agar
tidak mengalir. Pikiran ini menyesatkan jika aku tidak melihatnya secara
langsung. Meski pikiran ini terasa begitu yakin tapi aku tidak bisa
memercayainya bila aku tidak melihatnya secara langsung.
“Aku...
harus... melihat kakekku!” suaraku terdengar memohon. Aku sempat terkejut
mendengarnya. “AKU HARUS MEMASTIKAN KEADAAN KAKEK!” suaraku lebih tegas. Aku
menatapnya memohon.
“Kau...”
suaranya menggantung.
“Tunjukkan
padaku apa yang kau lihat!”
“Aku...” ia
terlihat ragu.
Aku
memutuskan semuanya dengan mengatakan kalimat ini, “aku siap melihat apapun
hasilnya asalkan aku bisa melihat kakek lagi. Aku ingin melihat kakek dengan
mata kepalaku sendiri. Kakek keluargaku satu-satunya, aku tidak memiliki yang
lain. Aku ingin bertemu dengannya!” mohonku.
Ia membalas
pandanganku dengan pandangan tak terbaca. Tapi ia cukup lama tak menarik
pandangannya sehingga aku memiliki pemikiran kalau ia sedang mempertimbangkan
permintaanku.
“Baiklah.”
Katanya kemudian. Bukannya senang mendengar persetujuannya aku malah jadi
merasa tidak tenang dengannya. “Biarkan aku membawamu!” lanjutnya sehingga aku
pun kembali terfokus padanya.
Dimas
menggendongku sehingga dalam waktu singkat aku sudah sampai di tempat tujuan.
Namun setelah aku turun dari gendongannya aku tidak melihat keberadaan kakek.
Aku melihat sekeliling tapi aku tidak bisa menemukannya. Rasa cemas pun membuat
dadaku jadi sesak.
“Dia berada
disana!” Dimas menjelaskan kebingunganku.
Aku pun
menoleh ke tempat yang ditunjuk oleh Dimas.
Aku menatap
ke tempat itu selama beberapa waktu. Lalu, dengan langkah pelan aku berjalan ke
sana. Namun baru beberapa langkah lengan Dimas menghalangi lajuku sehingga aku
sempat terhenti.
“Kau masih
memiliki waktu untuk mengurungkannya.” Ia mengingatkan. “Tapi, aku menyarankan
agar kau tidak melakukannya!”
Ucapannya
terdengar menjengkelkan tapi aku tidak ingin berdebat dengannya lagi sehingga
aku menyingkirkan lengannya dari jalan dan melanjutkan langkah.
“Aku harus
melihatnya!” tegasku.
Aku pun
meneguhkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan kulihat nanti.
Aku tahu dan rasa itu begitu kuat namun aku berusaha untuk lebih memercayai
kamungkinan baik yang akan ku lihat nanti. Meskipun terasa membohongi diri tapi
aku ingin sesuatu yang baik yang kulihat. Aku ingin melihat kakekku yang
baik-baik saja. Aku ingin pulang bersamanya.
Ini bagus
karena Dimas tidak berusaha untuk menghalangi jalanku lagi tapi setiap kali
jarak itu berkurang langkahku jadi terasa semakin berat. Seiring berjalannya
waktu akhirnya aku pun sampai dan melihat apa yang ingin untuk kulihat. Namun
aku meragukan pandanganku. Aku tidak mungkin memercayai bahwa orang yang
tergeletak itu adalah... kakek. Aku berdiri tak tahu berapa lama menatap ke
seorang itu yang berlumuran darah dan tidak jelas wajahnya.
“Dia,
sudah... meninggal!” ucap suara di belakang.
Aku membeku
di tempat memandang nanar pada seonggok daging yang mirip manusia. Aku berusaha
untuk mengeluarkan kata-kata tapi tidak ada satupun suara yang keluar. Setelah
cukup terkejut aku pun melangkah mendekatinya tanpa memalingkan pandanganku
darinya sedikit pun. Aku tidak tahu, apakah aku harus mempercayai penglihatanku
ataukah keyakinanku. Aku tidak bisa menemukan pertanda bahwa ia adalah kakekku.
“Apa kau
baik-baik saja?”
Aku
terkejut bukan main begitu menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku
menggigil di pelukannya dan aku tidak bisa menepisnya. Tubuhku terlalu letih
untuk melawan kekokohannya. Aku pun menangis sedu hingga aku jatuh dan hilang
kesadaran.
Sebulan
lebih aku diam tanpa sekalipun bicara. Ini bukanlah diriku yang sebenarnya,
berdiam diri bukanlah gayaku. Akhirnya setelah sebulan penuh aku memikirkannya
aku pun sudah sampai pada keputusan yang akan ku ambil.
“Aku sudah
memutuskan!” ucapku begitu pintu terbuka.
“Baguslah
kalau begitu!” sahut Dimas. Ia pasti sudah menunggu jawabanku lama. Aku yakin
ia lega karena ia mendapatkan apa yang diharapkannya.
“Aku,
setuju untuk menjadi pelayanmu!” tegasku sambil menatap padanya.
di pojok Jombang, 24 Juli 2020