Kamis, 23 Juli 2020

CERPEN : Ritual

Ritual

Al seorang gadis kecil yang baru berumur 7 tahun dan belum mengerti apa-apa. Ia hanya tahu bermain namun hari ini ia dilarang bermain karena ia harus pergi ke suatu tempat bersama pamannya. Ia sudah tidak memiliki ibu dan hanya tinggal ayah yang sakit-sakitan. Ia pun digandeng ke suatu acara yang tidak dimengertinya namun ia diharuskan untuk ikut.

“Nah, Al, tunggu disini sebentar dan jangan kemana-mana! Kamu mengerti, ‘kan?” katanya pada Al.

Al menatapnya sambil menganggukkan kepala.

“Kamu tidak akan kemana-mana sampai Paman kembali! Kamu mengerti?” tegasnya.

Al mengangguk lebih dalam lagi dan bersuara. “Ya, aku mengerti!”

Setelah Al mengatakan itu, Paman melangkah ke tengah kerumunan dan meninggalkan Al. Al melakukan apa yang disuruh oleh pamannya dan tetap diam di tempat. Ia mengawasi keramaian itu dengan pandangan tak mengertinya. Ia melihat ada banyak orang dewasa dan berseliweran.

Namun tak berselang lama mata Al menangkap sosok seseorang yang juga bersama anak kecil sepertinya. Al sempat berniat untuk menghampirinya karena anak itu adalah temannya tapi ia ingat dengan permintaan pamannya sehingga ia tidak jadi melakukannya. Ia pun tetap di tempatnya.

Tak lama kemudian pamannya kembali. Ia terlihat lebih serius dari yang pertama Al lihat.

“Ayo, Al!” ucap paman. Ia pun menggandeng tangan Al dan mengajaknya pergi dari tempat itu.

“Paman, tempat apa ini? Apa sedang ada perayaan?” tanyanya polos. Ia menatap pada pamannya.

Paman tak langsung menjawab sehingga membuat Al mesti menunggu lebih lama untuk mendengar jawabannya. “Ya, disini sedang ada perayaan.”

“Kenapa ayah tidak ikut?!” tanyanya lagi.

“Kan ayah sedang sakit!”

“Oh, iya.” Kata Al kemudian. “Aku ingin ayah cepat sembuh biar bisa pergi ke perayaan bersama kita!” lanjut Al.

Al mendengar paman mendesah sebelum berbicara. “Ya. Ku harap juga begitu!”

Setelah berjalan beberapa lama akhirnya paman berhenti sehingga Al otomatis juga berhenti.

Al melihat sebuah gubuk tua, berwarna gelap, dan Al merasa takut untuk melihatnya. Ia tidak memiliki keinginan untuk masuk ke dalam sana. Namun, paman berpendapat lain.

“Ayo, Al! Titi sudah menunggumu!” ajak paman. Al terkejut tapi tangannya sudah lebih dahulu ditarik oleh paman.

“Rumah siapa paman?” tanya Al menahan ketakutannya. Di dalama gubuk itu tidak ada banyak cahaya. Remang-remang.

“Tidak perlu takut, Al. Kita hanya disini sebentar. Dia hanya ingin melihat dirimu!” jelas paman.

Al belum begitu mengerti jadi ia langsung diam setelah mendengar jawaban itu.

Di dalam, kedatangan mereka telah ditunggu oleh seorang wanita tua, nenek-nenek berambut putih dan abu-abu panjang. Rambutnya agak berantakan dan memiliki kalung dari taring harimau. Pakaiannya serba hitam dan wajahnya juga demikian. Namun matanya terlihat hitam dengan balutan putih. Kaki Al terasa kaku ketika melihatnya namun karena paman yang terus melangkah membuat Al jadi ikutan terseret. Paman baru berhenti setelah ia berada di depan wanita tua itu. Al pun menggandeng tangan paman dengan erat.

“Titi, dia sudah ada disini!” kata paman padanya.

Al memandangnya takut. Al masih menggandeng tangan paman dengan erat namun karena melihat paman yang tidak takut Al jadi lebih berani dari sebelumnya. Ia berpikiran kalau nenek-nenek itu tidak jahat meski terlihat menyeramkan. Gandengan tangannya pun agak mengendur.

Wanita itu terus memandang Al hingga membuatnya bergidik ngeri. “Dekatkan dia padaku!” kata wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Al.

“Ayo, Al!” kata paman pada Al. Paman melepaskan tangan Al.

Al tidak menjawab pun bergerak tapi pamanlah yang mendorongnya mendekat hingga ia terduduk tepat di depan wanita tua itu. Al memandang nenek itu takut-takut.

Wanita tua itu mengamati Al selama beberapa waktu sebelum jari-jari berkuku panjangnya menyentuh wajah Al dan membelainya. Al terkesiap tapi ia tidak menepis ataupun mundur. Ia malah terus menatap ke mata wanita itu meski wanita itu tidak sedang menatap padanya. Dan setelah cukup melihat wajah Al tangan wanita itu ganti menyentuh tangan Al hingga membelai telapak tangannya. Al bergidik karena sentuhannya di telapak tangannya. Ia merasa geli.

“Ini bagus!” ucap wanita tua senang. Al melihat bahwa gigi nenek itu hitam-hitam. Ia tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi.

“Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya semenjak 175 tahun yang lalu. Aku tidak mungkin percaya jika tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku sangat yakin kalau dia adalah pilihan yang tepat. Dia akan menjadi orang yang mashur dan tidak akan mengecewakan kita. Ia kuat!” katanya pada paman.

“Terima kasih, Titi!” sahut paman. Namun Al mendengar nada cemas disuaranya.

“Jagalah ia baik-baik dan bawa kembali setelah ia berusia 15 tahun!”

“Baik, Titi!”

Setelah mengatakan itu, nenek itu melepaskan tangan Al dan paman langsung mendekati Al.

“Kita pulang!” katanya pada Al.

Al pulang setelahnya dan tidak menanyakan apa-apa. Tidak ada yang dimengertinya jadi ia tidak tahu harus menanyakan apa. Ia juga tidak mengerti kenapa paman membawanya ke tempat itu dan paman tidak pernah menceritakan alasannya. Hingga waktu berlalu Al tidak pernah mengetahuinya.

Beberapa tahun berlalu dan ayah Al yang sakit-sakitan akhirnya memutuskan untuk menyerah dengan penyakitnya. Ia meninggal ketika Al baru berusia 11 tahun, tepat 4 tahun setelah Al dibawa menemui nenek-nenek itu. Ia pun mengikuti paman yang pindah ke tempat tinggal yang baru.

Al sudah melupakan kejadian hari itu dan menyibukkan dirinya dengan bekerja. Al membantu paman dan bibinya untuk mengurus rumah dan kebun. Ia adalah gadis yang penurut dan baik sehingga ia tidak menyusahkan pamannya. Ia tumbuh dengan baik meski tingga di tempat terpencil. Ia tidak pernah mengerti kenapa paman memilih tinggal di tempat yang jauh dari keramaian. Hingga tanpa terasa Al sudah berusia 15 tahun.

“Al!” panggil paman suatu hari.

Al yang tengah mencabuti rumput di kebun sayur pun otomatis bangkit dan menghampiri pamannya. “Ada apa paman? Ada yang paman perlukan?” tanyanya.

“Oh, tidak. Aku hanya ingin supaya kamu bersiap-siap. Kita akan pergi!”

“Pergi?” tanya Al tak yakin. Ia tidak pernah pergi dengan paman sebelumnya.

“Ya. Cepatlah mandi dan gunakan pakaian terbaikmu. Paman akan menunggumu di kereta!”

“Baik paman!”

Al pun langsung bersiap-siap tanpa bertanya lebih jauh lagi. Ia dengan senang hati membantu pamannya karena selama ini pamannyalah yang selalu merawatnya. Kalau tidak ada paman mungkin ia sudah menjadi gelandangan sejak kecil karena ketika kecil ayahnya sudah tidak mampu bekerja dan sakit-sakitan sehingga ia sering dijenguk olehnya dan diberikan makanan.

Tak membutuhkan waktu lama dan Al sudah siap. Ia pun menghampiri pamannya yang sedang menyisiri kudanya.

“Paman!” panggilnya.

“Sudah siap?” Al mengangguk. “Kalau begitu, kita berangkat sekarang!”

Paman menyiapkan keretanya dan naik ke bangku kemudi sementara Al duduk di dalam kereta. Dalam pikiran Al sempat terlintas bahwa sikap paman berbeda hari ini karena paman biasanya selalu membawa kusir, tidak dikendarai sendiri.

Sepanjang perjalanan Al tidak mengatakan apapun, begitu pun paman. Al lebih memilih untuk menikmati pemandangan di sekitar yang tak pernah dilihatnya. Ia tidak pernah keluar sebelumnya jadi ia akan menikmati pemandangan hari ini. Ia tidak tahu kapan ia akan melihat pemandangan itu lagi.

Al terbangun ketika menyadari bahwa kereta telah berhenti. Ia mengucek matanya sebentar dan pintu terbuka. Paman memintanya untuk turun.

“Ini dimana paman?” tanya Al sambil melangkah turun. Al terkejut melihat hari sudah gelap.

“Sudah malam, kita akan menginap dulu!” jelas paman.

Al mengangguk mengerti.

“Kalian sudah datang!” ucap seorang wanita setengah baya setelah membukakan pintu.

“Ya. Perjalanan yang melelahkan!” jawab paman.

Al tak mengerti tapi sikap paman dan wanita itu terlihat akrab. Namun Al tidak pernah meliht wanita itu sebelumnya.

“Silahkan masuk!” katanya ramah pada Al.

Al pun menggangguk kikuk dan melangkah masuk.

“Aku akan mengantarkan kalian ke kamar untuk istirahat. Aku tahu kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh dan juga lapar. Aku akan menyiapkan makanan selagi kalian berisirahat dan membersihkan diri!”

Al dan paman mendapatkan kamar yang berbeda. Al tidak tahu bagaiman kamar paman namun kamarnya bagus, lebih bagus daripada kamar yang pernah dimilikinya. Lalu tepat setelah ia selesai mandi ia sudah dipanggil untuk makan.

Al sempat ragu untuk makan tapi ia kelaparan. Selain itu, si pemilik rumah juga menghidangkan banyak makanan di meja dan enak-enak. Al tidak bisa menolak aroma sedap dari makanan itu. Mengabaikan pamannya, ia pun makan dengan lahab dan banyak. Ia belum pernah makan banyak sebelum malam ini.

Selesai makan, Al langsung kembali ke kamar. Ia tidak biasa bercakap-cakap dengan keluarga. Sebelum itu, ia berniat untuk membantu tuan rumah untuk mencuci piring namun ditolaknya sehingga Al memutuskan untuk berada di kamar saja.

Keesokannya Al bangun dan ia terlihat lebih segar dari semalam. Ia belum pernah melakukan perjalanan sepanjang itu meski ia hanya duduk di dalam kereta. Ia juga tak mengerti kenapa ia dan paman berada disini. Ia berniat untuk menanyakannya pada paman pagi ini, tentang apa yang akan dilakukannya, namun ia belum bertemu dengan paman setelah semalam. Ia bahkan sarapan sendirian tanpa ada paman. Ia tidak tahu paman kemana. Paman pergi sebelum ia bangun.

Hampir tengah hari ketika paman muncul dan mengetuk pintu kamar Al.

“Al, keluarlah! Kita akan pergi!” panggilnya.

Al membuka pintu dan melihat paman yang sudah rapi. “Mau kemana paman?”

“Bersiaplah! Aku akan menunggumu di depan!” kata paman tanpa basa-basi.

Al tak mendapatkan jawabannya namun ia tetap melakukannya. Ia segera bersiap dan menemui paman ke depan.

“Al, sebentar lagi kau akan bertemu dengan beberapa orang.” kata paman setelah Al duduk di samping paman dan kereta sudah bergulir. Pada saat ini ada seorang kusir yang mengoperasikan kereta. “Mereka... orang baik jadi kamu harus bersikap baik terhadap mereka. Lakukan apa yang mereka minta dan jangan bertanya. Kamu hanya menuruti keinginan mereka. Mereka ingin melakukan yang terbaik untukmu Al dan kamu adalah gadis yang istimewa. Mereka tidak akan menyakitimu!” jelas paman.

Al seketika mengurungkan niatnya untuk bertanya padahal ia memiliki banyak pertanyaan tentang hari ini. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti tapi ia percaya dengan paman. Ia pun yakin kalau apa yang dikatakan oleh paman adalah benar. Selama ini paman selalu baik padanya dan selalu bertindak sebagai orang tuanya. Akhirnya Al pun mengangguk.

Kereta berhenti dan otomatis Al keluar bersama paman. Paman tidak mengatakan apa-apa lagi. Al pun mengikuti kemana paman pergi hingga membawanya ke sebuah gubuk yang terlihat tidak asing bagi Al. Gubuk tua, berwarna gelap dan seram. Melihat paman yang melangkah masuk membuat Al terpaksa mengikutinya. Al mesti berhati-hati ketika berjalan karena gelap.

Al melihat paman berhenti sehingga Al pun melangkah lebih cepat dan berhenti di dekat paman. Al mengamati kesekitar, berusaha untuk mengingat-ingat tempat itu. Tapi Al tidak bisa mengingatnnya dimana.

“Dia sudah disini, Titi!” ucapan paman membuat Al menoleh. Ia merasa familiar dengan ini.

Tak berselang lama seorang wanita tua, berambut putih panjang menghampiri mereka berdua. Ia melihat ke paman sebentar sebelum memandang kepada Al lama.

“Dia sudah besar dan... cantik. Dia gadis yang cantik!” kata wanita tua itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Al. Al mengamati nenek itu penasaran.

“Ya, Titi.” Jawab paman pendek.

“Kau membesarkannya dengan baik!” pujinya.

“Kalau begitu, biar dia diurus oleh Kola!” katanya pada paman.

Tak berselang lama beberapa orang wanita muda, tepatnya gadis, yang usianya lebih tua beberapa tahun dari Al muncul dan membawa Al ke suatu tempat. Al sempat ragu dan ia memandang paman mencari dukungan. Paman menganggukkan kepalanya sehingga Al memutuskan untuk ikut.

Al dibawa ke sebuah kolam dan ia dipaksa untuk membuka pakaiannya. Ia menolak namun gadis-gadis itu dengan cepat melepas paksa pakaiannya hingga ia telanjang bulat. Wajah Al bersemu merah dan ia berusaha untuk menutupi tubuhnya dengan lengan sebisanya.

“Masuklah ke dalam air!” perintah salah seorang.

Dengan sigap Al melakukannya karena ia ingin cepat-cepat menyembunyikan diri. Ia cemas karena ada yang melihatnya telanjang dan bahkan ada yang menungguinya ketika mandi.

Gadis-gadis itu tanpa ragu menyabuni tubuh Al dan menggosoknya. Al sempat berontak tapi ia gagal. Ia kalah jumlah dan ia harus menyerah dengan “serangan” gadis-gadis itu. Tidak pernah sebelumnya ada yang menyentuh tubuhnya selain dirinya sendiri.

Selesai mandi, tubuh Al langsung dibalut dengan kain putih yang sudah mereka siapkan dan dibawa ke sebuah ruangan. Ia didandani dan diberi pakaian yang bagus. Terlintas dipikiran Al untuk bertanya-tanya tapi ia teringat dengan pesan paman padanya untuk tidak menanyakan apapun sehingga ia hanya diam. Tapi ia juga penasaran dimana paman. Apakah paman juga mengalami seperti yang dialaminya, dimandikan dan diberikan pakaian yang bagus, tanyanya ingin tahu.

Al jadi terlihat cantik dengan pakaian berwarna putih itu. Ia tidak pernah berdandan sebelumnya sehingga ia terkejut melihat pantulan dirinya di cermin. Belum puas ia mengagumi dirinya ia sudah dibawa keluar dan ia langsung dihadapkan pada nenek-nenek yang beberapa waktu lalu ditemuinya.

“Baiklah, semuanya sudah siap jadi kita mulai ritualnya!” ucap wanita tua itu.

Al mengamati sekitar dan ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja yang ada di sekelilingnya. Terlalu gelap dan hanya pendar api yang ada di depannya yang menerangi. Ia berada di sebuah tempat terbuka tapi hari benar-benar sudah malam. Ia tidak menyangka jika “mandi dan ganti bajunya” tadi memakan waktu selama itu.

Melihat ke depan, Al mendapati bahwa nenek itu sedang menggumamkan sesuatu yang tidak dimengertinya. Ia pun teringat dengan ucapan nenek itu sebelum mulai menggumamkan sesuatu itu bahwa dia membicarakan tentang ritual. Al jadi penasaran, ritual apa yang sedang dilakukannya.

Setelah cukup lama hingga membuatnya bosan, akhirnya nenek itu sudah tidak menggumamkan mantra-mantra. Ia terdiam sebentar sebelum berbalik dan menghadap pada Al.

“Minumlah ini!” katanya pada Al. Ia mengulurkan sebuah wadah yang berisi air berwarna merah.

Al ragu untuk menerima namun wanita itu terus menatapnya sehingga ia mau menerimanya. Al meminumnya pelan untuk menghindari “kejutan” dari rasa minuman itu. Namun begitu minuman itu menyentuh lidahnya, Al merasa lain, berbeda dari yang ia kira. Air merah itu ternyata manis, berbeda dari jenis minuman yang pernah diminumnya sehingga ia pun meminumnya dengan cepat.

“Bagus!” puji nenek setelah Al menghabiskan minumannya. Ia pun mengambil wadah itu dari tangan Al dan melemparkannya ke dalam api. Api pun berkilat ketika benda itu masuk ke baranya.

Nenek itu mengucapkan beberapa mantra lagi sebelum menyuruh gadis-gadis tadi untuk membawa Al ke sebuah ruangan yang digunakannya untuk berganti pakaian beberapa waktu yang lalu. Namun ia heran melihat ada yang berbeda dengan tempat itu. Ada sebuah tikar yang dihampar di lantai dan bara api, juga besi-besi. Belum cukup Al bertanya-tanya soal itu nenek tadi masuk ke dalam ruangan. Al bahkan tidak sadar kalau gadis-gadis tadi sudah keluar.

“Al, duduklah disini! Punggungi aku!” ia memberikan isyarat agar Al duduk di depannya, di atas tikar.

Al terdiam dan menunggu apa yang akan dilakukan nenek itu, juga dirinya. Hingga kemudian Al merasakan kulit dingin menyentuh punggungnya dan tiba-tiba saja menarik pakaiannya turun.

Al terpekik dan otomatis menahan.

“Tidak apa-apa, Al!” katanya menengakan. Ia menariknya turun lagi.

Kulit Al yang terbuka meremang mengantisipasi sentuhan yang tak diketahuinya.

“Apapun yang terjadi diam, Al! Dan yang terpenting, jangan berteriak ataupun melawan karena hal itu hanya akan lebih menyakitimu saja. Taukah kau, Al, bahwa kau istimewa. Kau pilihan dari banyak pilihan. Berbanggalah dengan itu!” hiburnya. Mendengar ucapannya itu Al jadi merasa lebih tenang.

“Gigitlah ini!” katanya sambil mengulurkan sebuah gulungan kain.

Al menerima dan memandangnya beberapa saat. Ia tidak boleh bertanya jadi ia melakukan seperti yang dikatakan.

Namun selain mendengar suara wanita itu Al juga mendengar suara lain. Ia mendengar gesekan besi dan derak bara api. Kemudian ketika suasana berubah hening, Al dikejutkan dengan sengatan panas di pungungnya dan ia menggigit gulungan kain itu erat.

“Tenanglah Al!” kata wanita itu.

Tubuh Al terguncang karenanya dan ia merasa tidak nyaman di tempatnya.

“Tetap diam Al!” suara wanita itu lebih tegas. Ia menekan bahu Al agar tetap diam.

Al kesakitan dan ia berniat berontak tapi ia tak diizinkan untuk pergi. Seiring dengan sengatan yang berikutnya, keinganan Al untuk pergi begitu kuat namun kakinya tak merespon, begitu pula dengan tubuhnya. Meski begitu ia tetap bisa merasakan panasnya bara api yang membakar kulitnya.

Tangal Al menggenggam ujung bajunya dengan erat dan gigitan kain di mulutnya menegang setiap kali bara itu membakar kulitnya. Keringatnya bercucuran dan ia benar-benar kesakitan. Ia tersiksa. Waktu yang bergulir lama turut menyiksanya. Ia tidak tahu berapa lama siksaan ini akan berlangsung.

“Nah, sekarang sudah selesai!” ucap nenek itu lega setelah beberapa waktu penyiksaan.

Al yang mendengarnya pun ikutan lega. Namun punggungnya masih terasa terbakar meski nenek itu sudah menghentikan aktifitasnya untuk membakar punggungnya. Ia merasa kesakitan luar biasa dan ia sulit untuk menjelaskan rasa sakitnya. Tubuhnya basah kuyup dan lemas. Ia sama sekali tak mengerti kenapa ia mesti melakukan hal ini. Ia sungguh ingin menanyakannnya pada seseorang namun sakit dipunggung menahannya dan tak lama kemudian ia pun tak sadarkan diri karena tidak tahan menahan sakit punggung yang terbakar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar